Friday 6 February 2015

Tunarungu (olahraga adaptif)




A. Pengertian
Istilah tunarungu secara etimologi dari kata “tuna” dan “rungu”, tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah diketahui bahwa mereka tunarungu. Untuk mengetahui lebih lanjut hakikat tunarungu, di bawah ini akan dikemukakan beberapa pendapat, antara lain Van Uden (1977), sebagai berikut:
“A deaf person is one whose hearing is disabled to an extent (ussualy 70 dB ISO or greater) that precludes the understanding of speech through the ear alone without or with the use of hearing aid. A hard of hearing person is one whose hearing is disabled to an extent (ussualy 35 to 69 dB ISO) that makes difficult, but does not precludes the understanding of speech through the ear alone without or with the use of a hearing aid”.
Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa seseorang dikatakan tuli jika kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB ISO atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau menggunakan alat bantu mendengar. Sedangkan seseorang dikatakan kurang dengar apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 35 dB sampai 69 dB ISO, sehingga ia mengalami kesulitan untuk mengerti pembicaran orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan alat bantu mendengar(ABM). Donald F. Morees (1978: 3) dalam Somad dan Herawati (1996: 26), mendefinisikan tunarungu sebagai berikut:
“Hearing impairment a generic term indicating a hearing disability that may range in severity from mild to profound it concludes the sub sets of deaf and hard of hearing. A deaf person in one whose hearing disability preclude succesful processing of linguistic information through audition, with or without a hearing aid. A hard of hearing is one one who generally with use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable succesful processing og linguistic information through auditon”.
Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu dengar di mana batas pendengaran yang dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran.

B. Klasifikasi
Untuk keperluan layanan pendidikan khusus, para ahli berpendapat klasifikasi mutlak diperlukan. Hal ini sangat menentukan dalam pemilihan alat bantu mendengar yang sesuai dengan sisa pendengarannya dan menunjang pembelajaran yang efektif. Dengan menentukan tingkat kehilangan pendengaran dan pemilihan alat bantu dengar serta layanan khusus yang tepat, akan menghasilkan akselerasi secara optimal dalam mempersepsi bunyi bahasa dan wicara. Klasifikasi ketunarunguan sangat bervariasi menurut Boothroyd (1982,8) seperti pada gambar Klasifikasi dan karakteristik ketunarunguan di bawah ini didasarkan pada:
1.      Kelompok I : Kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau ketunarunguan ringan; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal.
2.      Kelompok II : Kehilangan 31-60 dB, moderate hearing losses atau ketunarunguan atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara percakapan manusia hanya sebagaian.
3.      Kelompok III : Kehilangan 61-90 dB: severe hearing losses atau ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada.
4.      Kelompok IV : Kehilangan 91-120 dB: profound hearing losses atau ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara percakapan manusia tidak ada sama sekali.
5.      Kelompok V : Kehilangan lebih dari 120 dB : total hearing losses atau ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali

Gambar: Klasifikasi Ketunarunguan Selanjutnya, Boothroyd (1982) mendeskripsikan ketunarunguan berdasar amplifikasi dan tanpa amplifikasi terkait dengan derajat ketulian.
Derajat ketulian 15-30 ­­­dB dikategorikan ringan, dengan kemampuan mendengar untuk bicara dan membedakan suara-suara atau sumber bunyi, dalam taraf normal. Modalitas belajar pada derajat ini menggunakan auditori. Begitu juga jika menggunakan alat bantu dengar.
Derajat ketulian 31-60 dB dikategorikan sedang, dengan kemampuan mendengar dan kapasitas untuk bicara hampir normal serta modalitas belajar auditori dengan bantuan visual. Namun jika menggunakan alat bantu dengar, kemampuan mendengar untuk bicaranya dapat menjadi normal dan modalitas belajarnya auditori.
Derajat 61-90 dB dikategorikan berat. Kemampuan mendengar dan kapasitas membedakan suara tidak ada, modalitas belajarnya dengan bantuan visual. Namun jika menggunakan alat bantu dengar, kemampuan mendengar dapat kembali normal dan kapasitas membedakan suara bisa menjadi baik, serta modalitas belajarnya auditori dengan bantuan penglihatan. Derajat ketulian 91- 120 dB, tergolong sangat berat. Kemampuan bicara dan kapasitas membedakan sumber bunyi sudah tidak ada dengan modalitas belajarnya visual. Namun jika menggunakan alat bantu mendengar, kemampuan mendengar untuk bicaranya normal, sedangkan kapasitas membedakan suara, buruk. Walaupun begitu pada taraf ini masih mampu mengenal irama dan intonasi. Modalitas belajar pada tingkatan ini adalah auditori dengan bantuan penglihatan.
Derajat ketulian lebih dari 120 dB, sudah tidak mampu mendengar. Kemampuan mendengar dan kapasitas untuk bicara tidak ada, walaupun dengan bantuan alat bantu mendengar. Modalitas belajar tanpa atau dengan alat bantu mendengar hanya mengandalkan visual.

C. Karakteristik
Uden (1971) dan Meadow (1980) dalam Bunawan dan Yuwati (2000) mengemukakan beberapa ciri atau sifat yang sering ditemukan pada anak tunarungu atau dikenal dengan karakteristik dari tunarungu yaitu:
1.      Sifat egosentris yang lebih besar daripada anak mendengar. Sifat ini membuat mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain serta kurang menyadari/peduli tentang efek perilakunya terhadap orang lain. Dalam tindakannya dikuasai perasaan dan pikiran secara berlebihan. Sehingga mereka sulit menyesuaikan diri. Kemampuan bahasa yang terbatas akan membatasi pula kemampuan untuk mengintegrasikan pengalaman dan akan makin memperkuat sifat egosentis ini.
2.      Memiliki sifat impulsif, yaitu tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang hati-hati dan jelas serta tanpa mengantisipasi akibat yang mungkin timbul akibat perbuatannya. Apa yang mereka inginkan biasanya perlu segera dipenuhi. Adalah sulit bagi mereka untuk merencanakan atau menunda suatu pemuasan kebutuhan dalam jangka panjang.
3.      Sifat kaku (rigidity), menunjuk pada sikap kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas dalam kesehariannya.
4.      Sifat lekas marah dan mudah tersinggung
5.      Perasaan ragu-ragu dan khawatir
Seiring dengan pengalaman yang dialaminya secara terus -menerus, mereka juga memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar sebagai upayanya untuk dapat tetap survived. Oleh karena itu untuk mengatasi hambatan ini, diperlukan upaya latihan artikulasi dan bicara yang komunikatif, serta membaurkan anak tunarungu ke dalam komunitas anak yang mendengar dan tidak mendengar, agar termotivasi untuk berkomunikasi sehingga rasa rendah diri dan terisolasi dapat diatasi dan berkembang menjadi rasa percaya diri.

D. Dampak Ketunarunguan Terhadap Kemampuan Berbahasa
Ketunarunguan yang berarti tidak memiliki kemampuan mendengar, tentunya akan membawa dampak juga pada kemampuan untuk memperoleh pendidikan bagi penderitanya. Sementara pendidikan memiliki peran penting dalam kemampuan berpikir seseorang. Dalam hal ini, masa kanak-kanak merupakan masa yang penting dalam proses pendidikan. Sebagaimana yang diutarakan Bloom (2003) dalam Mahesa (2005), bahwa separuh perkembangan intelektual anak berlangsung sebelum usia empat tahun.
Lebih jelas lagi, menurut Landshears (2004) dalam Mahesa (2005), pada usia empat tahun, perkembangan intelektual mencapai 50 %, selebihnya 30 % untuk 4-8 tahun, dan 20 % usia 9-17 tahun. Dari semua kendala yang ada, maka dampak paling besar pada ketunarunguan adalah terjadinya kemiskinan bahasa (Uden, 1977 dan Meadow, 1980 dalam Bunawan dan Yuwati, 2000). Adalah suatu kenyataan bahwa kebanyakan orang beranggapan bahwa ketunarunguan hanya mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan berbicara.
Padahal lebih dari itu, dampak ketunarunguan adalah kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara keseluruhan (Leigh, 1994 dalam Nugroho, 2004). Artinya tanpa pendidikan khusus, mereka tidak akan mengenal lambang bahasa atau nama guna mewakili suatu benda, kegiatan, peristiwa, dan perasaan serta tidak akan memahami aturan/sistem bahasa yang berlaku dan digunakan dalam lingkungannya.
Penguasaan bahasa pada anak mendengar terjadi secara wajar, yakni di lingkungan keluarga selama usia balita. Pada usia empat tahun, mereka pada umumnya sudah memasuki tahap purna bahasa (postlingual) yaitu mengenal dan memahami lambang bahasa serta tanpa disadari sudah mampu menerapkan aturan bahasa yang digunakan di lingkungannya. Sedangkan bagi anak tunarungu, pada umumnya baru akan memasuki tahap purna bahasa pada usia 12 tahun. Itupun hanya akan terjadi bila anak dan orangtua mereka mengikuti program bimbingan dan intervensi dini (paling lambat sejak anak berusia 1,5 tahun, dengan intelegensi normal serta tidak mempunyai kecacatan lain) yang ditangani secara profesional oleh ahli yang bersangkutan.
Proses pendidikan di semua lembaga pendidikan, termasuk SLB tunarungu bertopang pada kemampuan berbahasa peserta didiknya. Dapat dikatakan bahwa dalam segala kegiatan pembelajaran, kegiatan berbahasa memegang peran baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun isyarat. Apabila anak mengerjakan tugas yang menuntut daya logika dan abstraksi yang lebih tinggi, maka diharapkan keterampilan berbahasa akan membawa anak didik belajar berfikir runtut dan logis. Keterlambatan dan kemiskinan perkembangan kemampuan berbahasa anak tunarungu sebagai akibat dari ketunaanya, seyogyanya menjadi acuan bagi para pendidik dan pengambil kebijakan, karena di situlah terletak kebutuhan pendidikan khusus mereka. Dan selanjutnya, segala upaya pengembangan pendidikan anak tunarungu sejak usia dini, sudah sepatutnya dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan khusus tersebut.

0 comments:

Post a Comment