A. Pengertian
Istilah tunarungu secara etimologi dari kata “tuna”
dan “rungu”, tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan
tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara.
Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar
pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah diketahui bahwa mereka tunarungu.
Untuk mengetahui lebih lanjut hakikat tunarungu, di bawah ini akan dikemukakan
beberapa pendapat, antara lain Van Uden (1977), sebagai berikut:
“A
deaf person is one whose hearing is disabled to an extent (ussualy 70 dB ISO or
greater) that precludes the understanding of speech through the ear alone
without or with the use of hearing aid. A hard of hearing person is one whose
hearing is disabled to an extent (ussualy 35 to 69 dB ISO) that makes
difficult, but does not precludes the understanding of speech through the ear
alone without or with the use of a hearing aid”.
Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa
seseorang dikatakan tuli jika kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB
ISO atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui
pendengarannya sendiri, tanpa atau menggunakan alat bantu mendengar. Sedangkan
seseorang dikatakan kurang dengar apabila kehilangan kemampuan mendengar pada
tingkat 35 dB sampai 69 dB ISO, sehingga ia mengalami kesulitan untuk mengerti
pembicaran orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan alat
bantu mendengar(ABM). Donald F. Morees (1978: 3) dalam Somad dan Herawati (1996:
26), mendefinisikan tunarungu sebagai berikut:
“Hearing
impairment a generic term indicating a hearing disability that may range in
severity from mild to profound it concludes the sub sets of deaf and hard of
hearing. A deaf person in one whose hearing disability preclude succesful
processing of linguistic information through audition, with or without a
hearing aid. A hard of hearing is one one who generally with use of hearing
aid, has residual hearing sufficient to enable succesful processing og linguistic
information through auditon”.
Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa
tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari
yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar. Orang
tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses
informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat
bantu dengar di mana batas pendengaran yang dimilikinya cukup memungkinkan
keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran.
B. Klasifikasi
Untuk keperluan layanan pendidikan khusus, para ahli
berpendapat klasifikasi mutlak diperlukan. Hal ini sangat menentukan dalam
pemilihan alat bantu mendengar yang sesuai dengan sisa pendengarannya dan
menunjang pembelajaran yang efektif. Dengan menentukan tingkat kehilangan
pendengaran dan pemilihan alat bantu dengar serta layanan khusus yang tepat,
akan menghasilkan akselerasi secara optimal dalam mempersepsi bunyi bahasa dan
wicara. Klasifikasi ketunarunguan sangat bervariasi menurut Boothroyd (1982,8)
seperti pada gambar Klasifikasi dan karakteristik ketunarunguan di bawah ini
didasarkan pada:
1. Kelompok
I : Kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau ketunarunguan ringan;
daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal.
2. Kelompok
II : Kehilangan 31-60 dB, moderate hearing losses atau ketunarunguan
atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara percakapan manusia hanya
sebagaian.
3. Kelompok
III : Kehilangan 61-90 dB: severe hearing losses atau ketunarunguan
berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada.
4. Kelompok
IV : Kehilangan 91-120 dB: profound hearing losses atau ketunarunguan
sangat berat; daya tangkap terhadap suara percakapan manusia tidak ada sama
sekali.
5. Kelompok
V : Kehilangan lebih dari 120 dB : total hearing losses atau
ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama
sekali
Gambar:
Klasifikasi Ketunarunguan Selanjutnya, Boothroyd (1982) mendeskripsikan
ketunarunguan berdasar amplifikasi dan tanpa amplifikasi terkait dengan derajat
ketulian.
Derajat ketulian 15-30 dB
dikategorikan ringan, dengan kemampuan mendengar untuk bicara dan membedakan
suara-suara atau sumber bunyi, dalam taraf normal. Modalitas belajar pada
derajat ini menggunakan auditori. Begitu juga jika menggunakan alat bantu
dengar.
Derajat ketulian 31-60 dB dikategorikan sedang,
dengan kemampuan mendengar dan kapasitas untuk bicara hampir normal serta modalitas
belajar auditori dengan bantuan visual. Namun jika menggunakan alat bantu
dengar, kemampuan mendengar untuk bicaranya dapat menjadi normal dan modalitas
belajarnya auditori.
Derajat 61-90 dB dikategorikan berat. Kemampuan
mendengar dan kapasitas membedakan suara tidak ada, modalitas belajarnya dengan
bantuan visual. Namun jika menggunakan alat bantu dengar, kemampuan mendengar
dapat kembali normal dan kapasitas membedakan suara bisa menjadi baik, serta
modalitas belajarnya auditori dengan bantuan penglihatan. Derajat ketulian 91-
120 dB, tergolong sangat berat. Kemampuan bicara dan kapasitas membedakan
sumber bunyi sudah tidak ada dengan modalitas belajarnya visual. Namun jika
menggunakan alat bantu mendengar, kemampuan mendengar untuk bicaranya normal,
sedangkan kapasitas membedakan suara, buruk. Walaupun begitu pada taraf ini
masih mampu mengenal irama dan intonasi. Modalitas belajar pada tingkatan ini
adalah auditori dengan bantuan penglihatan.
Derajat ketulian lebih dari 120 dB, sudah tidak mampu
mendengar. Kemampuan mendengar dan kapasitas untuk bicara tidak ada, walaupun
dengan bantuan alat bantu mendengar. Modalitas belajar tanpa atau dengan alat
bantu mendengar hanya mengandalkan visual.
C. Karakteristik
Uden (1971) dan Meadow (1980) dalam Bunawan dan
Yuwati (2000) mengemukakan beberapa ciri atau sifat yang sering ditemukan pada
anak tunarungu atau dikenal dengan karakteristik dari tunarungu yaitu:
1. Sifat
egosentris yang lebih besar daripada anak mendengar. Sifat ini membuat mereka
sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain serta kurang
menyadari/peduli tentang efek perilakunya terhadap orang lain. Dalam
tindakannya dikuasai perasaan dan pikiran secara berlebihan. Sehingga mereka
sulit menyesuaikan diri. Kemampuan bahasa yang terbatas akan membatasi pula
kemampuan untuk mengintegrasikan pengalaman dan akan makin memperkuat sifat
egosentis ini.
2. Memiliki
sifat impulsif, yaitu tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang
hati-hati dan jelas serta tanpa mengantisipasi akibat yang mungkin timbul
akibat perbuatannya. Apa yang mereka inginkan biasanya perlu segera dipenuhi.
Adalah sulit bagi mereka untuk merencanakan atau menunda suatu pemuasan
kebutuhan dalam jangka panjang.
3. Sifat
kaku (rigidity), menunjuk pada sikap kurang luwes dalam memandang dunia
dan tugas-tugas dalam kesehariannya.
4. Sifat
lekas marah dan mudah tersinggung
5. Perasaan
ragu-ragu dan khawatir
Seiring dengan pengalaman yang dialaminya secara
terus -menerus, mereka juga memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan
lingkungan sekitar sebagai upayanya untuk dapat tetap survived. Oleh
karena itu untuk mengatasi hambatan ini, diperlukan upaya latihan artikulasi
dan bicara yang komunikatif, serta membaurkan anak tunarungu ke dalam komunitas
anak yang mendengar dan tidak mendengar, agar termotivasi untuk berkomunikasi
sehingga rasa rendah diri dan terisolasi dapat diatasi dan berkembang menjadi
rasa percaya diri.
D. Dampak Ketunarunguan Terhadap Kemampuan Berbahasa
Ketunarunguan yang berarti tidak memiliki kemampuan
mendengar, tentunya akan membawa dampak juga pada kemampuan untuk memperoleh
pendidikan bagi penderitanya. Sementara pendidikan memiliki peran penting dalam
kemampuan berpikir seseorang. Dalam hal ini, masa kanak-kanak merupakan masa
yang penting dalam proses pendidikan. Sebagaimana yang diutarakan Bloom (2003) dalam Mahesa (2005), bahwa
separuh perkembangan intelektual anak berlangsung sebelum usia empat tahun.
Lebih jelas lagi, menurut Landshears (2004) dalam Mahesa (2005), pada usia empat tahun,
perkembangan intelektual mencapai 50 %, selebihnya 30 % untuk 4-8 tahun, dan 20
% usia 9-17 tahun. Dari semua kendala yang ada, maka dampak paling besar pada
ketunarunguan adalah terjadinya kemiskinan bahasa (Uden, 1977 dan Meadow, 1980 dalam Bunawan dan Yuwati, 2000).
Adalah suatu kenyataan bahwa kebanyakan orang beranggapan bahwa ketunarunguan
hanya mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan berbicara.
Padahal lebih dari itu, dampak ketunarunguan adalah
kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara keseluruhan (Leigh, 1994 dalam Nugroho,
2004). Artinya tanpa pendidikan khusus, mereka tidak akan mengenal lambang
bahasa atau nama guna mewakili suatu benda, kegiatan, peristiwa, dan perasaan
serta tidak akan memahami aturan/sistem bahasa yang berlaku dan digunakan dalam
lingkungannya.
Penguasaan bahasa pada anak mendengar terjadi secara
wajar, yakni di lingkungan keluarga selama usia balita. Pada usia empat tahun,
mereka pada umumnya sudah memasuki tahap purna bahasa (postlingual)
yaitu mengenal dan memahami lambang bahasa serta tanpa disadari sudah mampu
menerapkan aturan bahasa yang digunakan di lingkungannya. Sedangkan bagi anak
tunarungu, pada umumnya baru akan memasuki tahap purna bahasa pada usia 12
tahun. Itupun hanya akan terjadi bila anak dan orangtua mereka mengikuti
program bimbingan dan intervensi dini (paling lambat sejak anak berusia 1,5
tahun, dengan intelegensi normal serta tidak mempunyai kecacatan lain) yang
ditangani secara profesional oleh ahli yang bersangkutan.
Proses pendidikan di semua lembaga pendidikan,
termasuk SLB tunarungu bertopang pada kemampuan berbahasa peserta didiknya.
Dapat dikatakan bahwa dalam segala kegiatan pembelajaran, kegiatan berbahasa
memegang peran baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun isyarat. Apabila anak
mengerjakan tugas yang menuntut daya logika dan abstraksi yang lebih tinggi,
maka diharapkan keterampilan berbahasa akan membawa anak didik belajar berfikir
runtut dan logis. Keterlambatan dan kemiskinan perkembangan kemampuan berbahasa
anak tunarungu sebagai akibat dari ketunaanya, seyogyanya menjadi acuan bagi
para pendidik dan pengambil kebijakan, karena di situlah terletak kebutuhan
pendidikan khusus mereka. Dan selanjutnya, segala upaya pengembangan pendidikan
anak tunarungu sejak usia dini, sudah sepatutnya dapat menjamin terpenuhinya
kebutuhan khusus tersebut.
0 comments:
Post a Comment