A. Pengertian Gangguan
Penglihatan (ketunanetraan)
Secara umum tuna netra merupakan keadaan dimana
kondisi dari individu yang memiliki keterbatasan dalam melihat alam sekitar. Menurut ( Nakata:2009) “ mereka yang
memiliki kombinasi ketajaman penglihatan hampir kurang dari 0.3 (60/200) atau
mereka yang mempunyai tingkat kelainan fungsi penglihatan yang lainnya lebih
tinggi. Yaitu mereka yang tidak mungkin atau berkesulitan secara signifikan
untuk membaca tulisan ilustrasi awas meskipun dengan mempergunakan alat bantu
kaca pembesar.”
Pengertian tunanetra tidak saja mereka yang buta,
tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan
kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam
belajar. Jadi, anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah
melihat”, “low vision” atau rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanerta.
Anak-anak
dengan gangguan penglihatan ini diketahui dalam kondisi :
1. ketajaman
penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas.
2. Terjadi
kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cai-ran tertentu.
3. Posisi
mata sulit dikendalikan oleh saraf otak.
4. Terjadi
kerusakan susunan saraf otak yang berhubu-ngan dengan penglihatan.
Dari kondisi diatas, pada umumnya yang digunakan
sebagai patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah
berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya. Untuk mengetahui
ketunanetran dapat mengunakan tes Snellen Card. Anak dikatakan tunanetra bila
ketajaman penglihatannya (visusnya) kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes,
anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat
dibaca pada jarak 21 meter.
Anak tunanetra dapat dikelompokkan menjadi 2 macam,
yaitu:
1. Buta
Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0).
Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0).
2. Low
Vision
Anak masih bisa menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar.
Anak masih bisa menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar.
B. Faktor-faktor
Penyebab Ketunanetraan.
Secara ilmiah ketunanetraan anak dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, apakah itu faktor dalam diri anak (internal) ataupun
factor dari luar anak (eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu
faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam
kandungan diantaranya faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu,
kekurangan gizi, keracunan obat dan sebagainnya.
Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang terjadi
pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya kecelakaan, terkena penyakit
siphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis
(tang) saat melahirkan sehingga system sayafnya rusak, kurang gizi atau
vitamin, terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, dan
peradangan mata karena penyakit, bakteri, atau virus.
C. Perkembangan
Kognitif Anak Tunanetra
Akibat dari ketunanetraan, maka pengenalan atau
pengertian terhadap dunia luar anak, tidak dapat diperoleh secara lengkap dan
utuh. Akibatnya perkembangan kognitif anak tunanerta cendrung terhambat
dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan
perkembangan kognitf tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan (IQ), tetapi
juga dengan kemampuan indra penglihatannya.
Melalui indera penglihatan seseorang mampu melakukan
pengamatan terhadap dunia sekitar, tidak saja pada bentuknya (pada objek
berdimensi dua) tetapi juga pengamatan dalam (pada objek berdimensi tiga),
warna, dan dinamikanya. Melalui indra inilah sebagian besar rangsang atau
informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul
kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap rangsang tersebut. Melalui
kegiatan-kegiatan yang bertahap dan terus menerus seperti inilah yang pada
akhirnya mampu merangsang pertumbuhan dan perkembangan kognitif seseorang
sehingga mampu berkembang secara optimal.
D. Perkembangan Motorik
Anak Tunanetra
Perkembangan motorik anak tunanetra cendrung lambat
dibandingkan dengan anak awas pada umumnya. Keterlambatan ini terjadi karna
dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional
antara neuromuscular system (system persyarafan dan otot) dan fungsi psikis
(kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh
lingkungan.
Pada anak tunanerta mungkin fungsi neuro-muscular
system tidak bermasalah tetapi fungsi psikisnya kurang mendukung serta menjadi
hambatan tersendiri dalam perkembangan motoriknya. Secara fisik, mungkin anak
mampu mencapai kematangan sama dengan anak awas pada umumnya, tetapi karna
fungsi psikisnya (seperti pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan
mengetahui adanya bahaya dan cara menghadapi, keterampilan gerak yang serba
terbatas, serta kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu) mengakibatkan
kematangan fisiknya kurang dapat di-manfaatkan secara maksimal dalam melakukan
aktivitas motorik.
E. Perkembangan Emosi
Anak Tunanetra
Perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit
mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas. Keterhambatan ini
terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses
belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan
proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap
dirasakan tidak efisien karma dia tidak dapat melakukan pengamatan terhadap
reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkannya
mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri maupun
lingkungannya.
Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin
terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi emosi , yaitu keadaan dimana
anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman
emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan
kesenangan. Anak tunanetra yang cenderung mengalami deprivasi emosi ini
terutama adalah anak-anak yang pada masa awal kehidupan atau perkembangannya
ditolah kehadirannya oleh linkungan keluarga atau masyarakat. Deprivasi emosi
ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek per-kembangan lain : kelambatan
dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual dan social. Selain itu,
anak yang mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan
diri sendiri,serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang
dari orang-orang disekitarnya.
F. Perkembangan Sosial
Anak Tunanetra
Perkembangan social berarti dikuasainya seperangkat
kemampuan untuk bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat. Bagi anak
tunanetra penguasaan seperangkat kemampuan bertingkah laku tersebut tidaklah
mudah. Anak tunanetra lebih banyak menghadapi masalah dalam perkembangan
social. Hambatan-hambatan tersebut adalah kurangnya motivasi, ketakutan
menghadapi lingkungan social yang lebih luas atau baru, perasaan rendah diri,
malu, keterbatasan anak untuk dapat belajar social melalui proses identifikasi
dan imitasi, serta sikap-sikap masyarakat yang sering kali tidak menguntungkan
: penolakan, penghinaan dan sikap tak acuh.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana
perkembangan social anak tunanetra itu sangat bergantung pada bagaimana
perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap anak
tunanetra itu sendiri. Bila perlakuan dan penerimaannya baik, maka perkembangan
social anak tunanetra tersebut akan baik dan begitu juga sebaliknya.
G. Dampak Ketunanetraan
bagi Keluarga, Masyarakat, dan Penyelenggara Pendidikan
Hasil penelitian para ahli mengenai pandanga dan
sikap orang awas terhadap penyandang tunanetra adalah bahwa dalam pandangan
orang awas,penyandang tunanetra memiliki beberapa karakteristik, baik yang
sifatnya positif maupun negative.
1. Penilaian
Negatif :
Penyandang tunanetra pada umumnya memiliki sikap
tidak berdaya,sifat ketergantungan, memiliki tingkat kemampuan rendah dalam
orientasi waktu, tidak pernah merasakan kebahagiaan, memiliki sifat kepribadian
yang penuh dengan frustasi-frustasi,Kaku, resisten terhadap perubahan-perubahan,
cenderung kaku dan cepat menarik tangan dari lawannya pada saat bersalaman,
mudah mengalami kebingungan ketika memasuki lingkungan yang tidak familiar yang
ditunjukkan dengan perilaku-perilaku yang tidak tepat.
2. Penilaian
Positif :
Penyandang tunanetra lebih peka terhadap suara,
perabaan, ingatan, keterampilan dalam memainkan alat music, Ketertarikan yang
tinggi terhadap nilai-nilai moral dan agama. Sebaliknya, para penyandang
tunanetra sendiri beranggapan bahwa orang awas pada umumnya memiliki sikap
sebagai berikut :
Pada umumnya orang awas tidak tahu banyak tentang
‘orang buta’ dan kemudian akan terheran-heran ketika orang tunanetra
me-nunjukkan kemampuannya dalam beberapa hal.
Orang awam cenderung kasihan pada orang tunanetra
dan pada saat yang sama mereka berfikir bahwa mereka lebih berani dibandingkan
dengan orang awas lainnya.
Sikap orang tunanetra terhadap kebutaannya, menurut Bauman (Kirtley, 1975) bahwa
keberhasilan dalam penyesuaian social dan ekonomi pada penyandang tunanetra
berkaitan erat dengan sikap-sikap diri dan keluarganya terhadap penerimaan
secara emosional yang realistik terhadap kebutaannya serta pemilikan kemampuan
intelektual dan stabilitas psikologis.
Reaksi orang tua terhadap ketunanetraan anaknya
dibagi menjadi 5 kelompok :
1. Penerimaan
secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya.
2. Penyangkalan
terhadap ketunanetraan anak.
3. Overprotection
atau perlindungan yag berlebihan.
4. Penolakan
secara tertutup.
5. Penolakan
secara terbuka.
Sikap para guru sebagai penyelenggara pendidikan,
hasil penelitian Murphy (Kirtley, 1975)
menunjukkan bahwa pada umumnya para guru (guru umum dan guru PLB) cenderung
mengesampingkan anak tunanetra, tetapi guru khusus (guru PLB) cenderung
bersikap lebih positif terhadap anak tunanetra.
H. Klasifikasi Anak
Tuna Netra
Menurut Lowenfeld,
(1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan pada waktu
terjadinya ketunanetraan, yaitu:
1. Tunanetra
sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki
pengalaman penglihatan.
2. Tunanetra
setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta
pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
3. Tunanetra
pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan
visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan
pribadi.
4. Tunanetra
pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu
melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
5. Tunanetra
dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan
penyesuaian diri.
6. Tunanetra
akibat bawaan (partial sight bawaan)
Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan
daya penglihatan, yaitu :
a. Tunanetra
ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan dalam
penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan
dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
b. Tunanetra
setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian daya
penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan
biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
c. Tunanetra
berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
Menurut
WHO, klasifikasi didasarkan pada pemerik-saan klinis, yaitu :
a. Tunanetra
yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang
penglihatan kurang dari 20 derajat.
b. Tunanetra
yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200
yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
Menurut Hathaway, klasifikasi didasarkan dari segi
pendidikan, yaitu :
a. Anak
yang memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah memperoleh
pelayanan medik.
b. Anak
yang mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang normal dan menurut ahli mata
dapat bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan yang
khusus.
Kirk (1962:214) mengutip klasifikasi
ke-tunanetraan, yaitu :
a. Anak
yang buta total atau masih memiliki persepsi cahaya sampai dengan 2/2000, ia
tidak dapat melihat gerak tangan pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
b. Anak
yang buta dengan ketajaman penglihatan sampai dengan 5/200, ia tidak dapat
menghitung jari pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
c. Anak
yang masih dapat diharapkan untuk berjalan sendiri, yaitu yang memiliki
ketajaman penglihatan sampai dengan 10/200, ia tidak dapat membaca huruf-huruf
besar seperti judul berita pada koran.
d. Anak
yang mampu membaca huruf-huruf besar pada koran, yaitu yang memiliki ketajaman
penglihatan sampai dengan 20/200, akan tetapi ia tidak dapat diharapkan untuk
membaca huruf 14 point atau tipe yang lebih kecil.
e. Anak
yang memiliki penglihatan pada batas ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih,
akan tetapi ia tidak memiliki penglihatan cukup untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang memerlukan penglihatan dan anak ini tidak dapat membaca
huruf 10point.
Menurut Howard dan Orlansky, klasifikasi didasarkan
pada kelainan-kelainan yang terjadi pada mata, yaitu, Kelainan ini disebabkan
karena adanya kesalahan pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila cahaya tidak
terfokus sehingga tidak jatuh pada retina. Peristiwa ini dapat diperbaiki
dengan memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-kelainan itu, antara lain :
1. Myopia
adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang
retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu
proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan
lensa negatif.
2. Hyperopia
adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan
retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu
proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan
lensa positif.
3. Astigmatisme
adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena
ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata
sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh
pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme
digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.
I. Karakteristik Anak
Tunanetra
1. Fisik
(Physical)
2. Keadaan
fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya, perbedaan nyata
diantara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya. Gejala tunanetra yang
dapat diamati dari segi fisik diantaranya :
-
Mata juling
-
Sering berkedip
-
Menyipitkan mata
-
Kelopak mata merah
3. Mata
infeksi
-
Gerakan mata tak
beraturan dan cepat
-
Mata selalu berair
(mengeluarkan air mata)
-
Pembengkakan pada kulit
tempat tumbuh bulu mata
4. Perilaku
(Behavior)
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai
petunjuk dalam mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini :
-
Menggosok mata secara
berlebihan.
-
Menutup atau melindungi
mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke depan.
-
Sukar membaca atau
dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan mata.
-
Berkedip lebih banyak
daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu pekerjaan.
-
Membawa bukunya ke
dekat mata.
-
Tidak dapat melihat
benda-benda yang agak jauh.
-
Menyipitkan mata atau
mengkerutkan dahi.
-
Tidak tertarik
perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang memerlukan
penglihatan seperti melihat gambar atau membaca.
-
Janggal dalam bermain
yang memerlukan kerjasama tangan dan mata.
-
Menghindar dari
tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau memerlukan penglihatan jarak jauh.
5. Psikis
Secara
psikis anak tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Mental/intelektual
Intelektual atau kecerdasan anak
tunanetra umumnya tidak berbeda jauh dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ
anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang
sangat pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka
lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya.
Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa
benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
b. Sosial
Hubungan sosial yang pertama terjadi
dengan anak adalah hubungan dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain yang
ada di lingkungan keluarga. Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga yang
tidak siap menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan,
gelisah di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual untuk
menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya. Tunanetra mengalami hambatan
dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa masalah antara lain:
-
Curiga terhadap orang
lain
-
Perasaan mudah tersinggung
-
Ketergantungan yang
berlebihan
Disamping ciri karakteristik diatas, juga terdapat
karakteristik lain yang kurang lebih hampir sama dengan anak normal pada
umumnya yaitu :
1. Akademis
Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Akademis
Tilman & Osborn (1969) menemukan beberapa perbedaan antara anak tunanetra
dan anak awas.
-
Anak tunanetra
menyimpan pengalaman-pengalaman khusus seperti halnya anak awas, namun
pengalaman-pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.
-
Anak tunanetra
mendapatkan angka yang hampir sama dengan anak awas, dalam hal berhitung,
informasi, dan kosakata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman (comprehention)
dan persaman.
-
Kosa kata anak
tunanetra cenderung merupakan kata-kata yang definitif.
2. Low
Vision.
Beberapa ciri yang tampak pada anak low vision
antara lain:
-
Menulis dan membaca
dengan jarak yang sangat dekat.
-
Hanya dapat membaca
huruf yang berukuran besar.
-
Mata tampak lain;
terlihat putih di tengah mata (katarak) atau kornea (bagian bening di depan
mata) terlihat berkabut.
-
Terlihat tidak menatap
lurus ke depan.
-
Memicingkan mata atau
mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau saat mencoba melihat sesuatu.
-
Lebih sulit melihat
pada malam hari daripada siang hari.
-
Pernah menjalani
operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat tebal tetapi masih tidak
dapat melihat dengan jelas.
J. Strategi
Pembelajaran Bagi Anak Tunanetra
Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan
anak tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1. Upaya
memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak (di satu sisi).
2. Upaya
pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk
mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan (di sisi
lain)
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat
prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Prinsip
Individual
Prinsip individual adalah prinsip
umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru dituntut
untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan
tunanetra, dimensi perbedaan individu itu sendiri menjadi lebih luas dan
kompleks.
Di samping adanya
perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan,
sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang
terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya
kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat
kecacatan, dll).
Secara umum, harus ada beberapa
perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang buta
total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru
untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah
alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education Program–IEP).
2. Prinsip kekonkritan/pengalaman Penginderaan
2. Prinsip kekonkritan/pengalaman Penginderaan
Strategi pembelajaran yang
digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman
secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa Bower (1986) disebut
sebagai pengalaman penginderaan langsung.
Anak tunanetra tidak dapat belajar
melalui pengamatan visual yang memiliki dimensi jarak, bunga yang sedang mekar,
pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan.
Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek,
atau situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium,
mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low
vision.
Prinsip ini sangat erat kaitannya
dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip
kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan
relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan disampaikan pada bagian
khusus.
3. Prinsip
Totalitas
Strategi pembelajaran yang
dilakukan guru haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek
maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru mendorong siswa untuk
melibatkan semua pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami
sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut sebagai multi
sensory approach, yaitu penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi
secara menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk mendapatkan gambaran mengenai
burung, anak tunanetra harus melibatkan perabaan untuk mengenai ukuran bentuk,
sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus memanfaatkan pendengarannya untuk
mengenali suara burung dan bahkan mungkin juga penciumannya agar mengenali bau
khas burung.
Pengalaman anak mengenai burung
akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak yang hanya
menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut. Hilangnya
penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk
mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa
diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab
itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.
4. Prinsip Aktivitas Mandiri (Selfactivity)
4. Prinsip Aktivitas Mandiri (Selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah
memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri.
Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang
membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan
keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi
pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan
mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya
siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau
konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak, tetapi akan
lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna mendapatkan isi
pelajaran tersebut.
0 comments:
Post a Comment