Friday 6 February 2015

Tunanetra (olahraga adaptif)




A. Pengertian Gangguan Penglihatan (ketunanetraan)
Secara umum tuna netra merupakan keadaan dimana kondisi dari individu yang memiliki keterbatasan dalam melihat alam sekitar. Menurut ( Nakata:2009) “ mereka yang memiliki kombinasi ketajaman penglihatan hampir kurang dari 0.3 (60/200) atau mereka yang mempunyai tingkat kelainan fungsi penglihatan yang lainnya lebih tinggi. Yaitu mereka yang tidak mungkin atau berkesulitan secara signifikan untuk membaca tulisan ilustrasi awas meskipun dengan mempergunakan alat bantu kaca pembesar.”
Pengertian tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”, “low vision” atau rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanerta.
Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini diketahui dalam kondisi :
1.      ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas.
2.      Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cai-ran tertentu.
3.      Posisi mata sulit dikendalikan oleh saraf otak.
4.      Terjadi kerusakan susunan saraf otak yang berhubu-ngan dengan penglihatan.
Dari kondisi diatas, pada umumnya yang digunakan sebagai patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya. Untuk mengetahui ketunanetran dapat mengunakan tes Snellen Card. Anak dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya (visusnya) kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter.
Anak tunanetra dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu:
1.      Buta
Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0).
2.      Low Vision
Anak masih bisa menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar.

B. Faktor-faktor Penyebab Ketunanetraan.
Secara ilmiah ketunanetraan anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, apakah itu faktor dalam diri anak (internal) ataupun factor dari luar anak (eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan diantaranya faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat dan sebagainnya.
Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya kecelakaan, terkena penyakit siphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga system sayafnya rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, dan peradangan mata karena penyakit, bakteri, atau virus.

C. Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra
Akibat dari ketunanetraan, maka pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar anak, tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Akibatnya perkembangan kognitif anak tunanerta cendrung terhambat dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan perkembangan kognitf tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan (IQ), tetapi juga dengan kemampuan indra penglihatannya.
Melalui indera penglihatan seseorang mampu melakukan pengamatan terhadap dunia sekitar, tidak saja pada bentuknya (pada objek berdimensi dua) tetapi juga pengamatan dalam (pada objek berdimensi tiga), warna, dan dinamikanya. Melalui indra inilah sebagian besar rangsang atau informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap rangsang tersebut. Melalui kegiatan-kegiatan yang bertahap dan terus menerus seperti inilah yang pada akhirnya mampu merangsang pertumbuhan dan perkembangan kognitif seseorang sehingga mampu berkembang secara optimal.

D. Perkembangan Motorik Anak Tunanetra
Perkembangan motorik anak tunanetra cendrung lambat dibandingkan dengan anak awas pada umumnya. Keterlambatan ini terjadi karna dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional antara neuromuscular system (system persyarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan.
Pada anak tunanerta mungkin fungsi neuro-muscular system tidak bermasalah tetapi fungsi psikisnya kurang mendukung serta menjadi hambatan tersendiri dalam perkembangan motoriknya. Secara fisik, mungkin anak mampu mencapai kematangan sama dengan anak awas pada umumnya, tetapi karna fungsi psikisnya (seperti pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan mengetahui adanya bahaya dan cara menghadapi, keterampilan gerak yang serba terbatas, serta kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu) mengakibatkan kematangan fisiknya kurang dapat di-manfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktivitas motorik.

E. Perkembangan Emosi Anak Tunanetra
Perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas. Keterhambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karma dia tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkannya mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri maupun lingkungannya.
Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi emosi , yaitu keadaan dimana anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Anak tunanetra yang cenderung mengalami deprivasi emosi ini terutama adalah anak-anak yang pada masa awal kehidupan atau perkembangannya ditolah kehadirannya oleh linkungan keluarga atau masyarakat. Deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek per-kembangan lain : kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual dan social. Selain itu, anak yang mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan diri sendiri,serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang disekitarnya.

F. Perkembangan Sosial Anak Tunanetra
Perkembangan social berarti dikuasainya seperangkat kemampuan untuk bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat. Bagi anak tunanetra penguasaan seperangkat kemampuan bertingkah laku tersebut tidaklah mudah. Anak tunanetra lebih banyak menghadapi masalah dalam perkembangan social. Hambatan-hambatan tersebut adalah kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan social yang lebih luas atau baru, perasaan rendah diri, malu, keterbatasan anak untuk dapat belajar social melalui proses identifikasi dan imitasi, serta sikap-sikap masyarakat yang sering kali tidak menguntungkan : penolakan, penghinaan dan sikap tak acuh.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan social anak tunanetra itu sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap anak tunanetra itu sendiri. Bila perlakuan dan penerimaannya baik, maka perkembangan social anak tunanetra tersebut akan baik dan begitu juga sebaliknya.

G. Dampak Ketunanetraan bagi Keluarga, Masyarakat, dan Penyelenggara Pendidikan
Hasil penelitian para ahli mengenai pandanga dan sikap orang awas terhadap penyandang tunanetra adalah bahwa dalam pandangan orang awas,penyandang tunanetra memiliki beberapa karakteristik, baik yang sifatnya positif maupun negative.
1.      Penilaian Negatif :
Penyandang tunanetra pada umumnya memiliki sikap tidak berdaya,sifat ketergantungan, memiliki tingkat kemampuan rendah dalam orientasi waktu, tidak pernah merasakan kebahagiaan, memiliki sifat kepribadian yang penuh dengan frustasi-frustasi,Kaku, resisten terhadap perubahan-perubahan, cenderung kaku dan cepat menarik tangan dari lawannya pada saat bersalaman, mudah mengalami kebingungan ketika memasuki lingkungan yang tidak familiar yang ditunjukkan dengan perilaku-perilaku yang tidak tepat. 
2.      Penilaian Positif :
Penyandang tunanetra lebih peka terhadap suara, perabaan, ingatan, keterampilan dalam memainkan alat music, Ketertarikan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral dan agama. Sebaliknya, para penyandang tunanetra sendiri beranggapan bahwa orang awas pada umumnya memiliki sikap sebagai berikut :
Pada umumnya orang awas tidak tahu banyak tentang ‘orang buta’ dan kemudian akan terheran-heran ketika orang tunanetra me-nunjukkan kemampuannya dalam beberapa hal.
Orang awam cenderung kasihan pada orang tunanetra dan pada saat yang sama mereka berfikir bahwa mereka lebih berani dibandingkan dengan orang awas lainnya.
Sikap orang tunanetra terhadap kebutaannya, menurut Bauman (Kirtley, 1975) bahwa keberhasilan dalam penyesuaian social dan ekonomi pada penyandang tunanetra berkaitan erat dengan sikap-sikap diri dan keluarganya terhadap penerimaan secara emosional yang realistik terhadap kebutaannya serta pemilikan kemampuan intelektual dan stabilitas psikologis.
Reaksi orang tua terhadap ketunanetraan anaknya dibagi menjadi 5 kelompok :
1.      Penerimaan secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya.
2.      Penyangkalan terhadap ketunanetraan anak.
3.      Overprotection atau perlindungan yag berlebihan.
4.      Penolakan secara tertutup.
5.      Penolakan secara terbuka.
Sikap para guru sebagai penyelenggara pendidikan, hasil penelitian Murphy (Kirtley, 1975) menunjukkan bahwa pada umumnya para guru (guru umum dan guru PLB) cenderung mengesampingkan anak tunanetra, tetapi guru khusus (guru PLB) cenderung bersikap lebih positif terhadap anak tunanetra.

H. Klasifikasi Anak Tuna Netra
Menurut Lowenfeld, (1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu:
1.      Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
2.      Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
3.      Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
4.      Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
5.      Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
6.      Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)
Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, yaitu :
a.       Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
b.      Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
c.       Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
Menurut WHO, klasifikasi didasarkan pada pemerik-saan klinis, yaitu :
a.       Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
b.      Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
Menurut Hathaway, klasifikasi didasarkan dari segi pendidikan, yaitu :
a.       Anak yang memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah memperoleh pelayanan medik.
b.      Anak yang mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang normal dan menurut ahli mata dapat bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan yang khusus.
Kirk (1962:214) mengutip klasifikasi ke-tunanetraan, yaitu :
a.       Anak yang buta total atau masih memiliki persepsi cahaya sampai dengan 2/2000, ia tidak dapat melihat gerak tangan pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
b.      Anak yang buta dengan ketajaman penglihatan sampai dengan 5/200, ia tidak dapat menghitung jari pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
c.       Anak yang masih dapat diharapkan untuk berjalan sendiri, yaitu yang memiliki ketajaman penglihatan sampai dengan 10/200, ia tidak dapat membaca huruf-huruf besar seperti judul berita pada koran.
d.      Anak yang mampu membaca huruf-huruf besar pada koran, yaitu yang memiliki ketajaman penglihatan sampai dengan 20/200, akan tetapi ia tidak dapat diharapkan untuk membaca huruf 14 point atau tipe yang lebih kecil.
e.       Anak yang memiliki penglihatan pada batas ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih, akan tetapi ia tidak memiliki penglihatan cukup untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan penglihatan dan anak ini tidak dapat membaca huruf 10point.
Menurut Howard dan Orlansky, klasifikasi didasarkan pada kelainan-kelainan yang terjadi pada mata, yaitu, Kelainan ini disebabkan karena adanya kesalahan pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila cahaya tidak terfokus sehingga tidak jatuh pada retina. Peristiwa ini dapat diperbaiki dengan memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-kelainan itu, antara lain :
1.      Myopia adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.
2.      Hyperopia adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa positif.
3.      Astigmatisme adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.

I. Karakteristik Anak Tunanetra
1.      Fisik (Physical)
2.      Keadaan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya, perbedaan nyata diantara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya. Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya :
-          Mata juling
-          Sering berkedip
-          Menyipitkan mata
-          Kelopak mata merah
3.      Mata infeksi
-          Gerakan mata tak beraturan dan cepat
-          Mata selalu berair (mengeluarkan air mata)
-          Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata
4.      Perilaku (Behavior)
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini :
-          Menggosok mata secara berlebihan.
-          Menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke depan.
-          Sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan mata.
-          Berkedip lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu pekerjaan.
-          Membawa bukunya ke dekat mata.
-          Tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh.
-          Menyipitkan mata atau mengkerutkan dahi.
-          Tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca.
-          Janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata.
-          Menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau memerlukan penglihatan jarak jauh.
5.      Psikis
Secara psikis anak tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Mental/intelektual
Intelektual atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda jauh dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang sangat pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
b.      Sosial
Hubungan sosial yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain yang ada di lingkungan keluarga. Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga yang tidak siap menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan, gelisah di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual untuk menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya. Tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa masalah antara lain:
-          Curiga terhadap orang lain
-           Perasaan mudah tersinggung
-          Ketergantungan yang berlebihan
Disamping ciri karakteristik diatas, juga terdapat karakteristik lain yang kurang lebih hampir sama dengan anak normal pada umumnya yaitu :
1.      Akademis
Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Akademis Tilman & Osborn (1969) menemukan beberapa perbedaan antara anak tunanetra dan anak awas.
-          Anak tunanetra menyimpan pengalaman-pengalaman khusus seperti halnya anak awas, namun pengalaman-pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.
-          Anak tunanetra mendapatkan angka yang hampir sama dengan anak awas, dalam hal berhitung, informasi, dan kosakata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman (comprehention) dan persaman.
-          Kosa kata anak tunanetra cenderung merupakan kata-kata yang definitif.
2.      Low Vision.
Beberapa ciri yang tampak pada anak low vision antara lain:
-          Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat.
-          Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar.
-          Mata tampak lain; terlihat putih di tengah mata (katarak) atau kornea (bagian bening di depan mata) terlihat berkabut.
-          Terlihat tidak menatap lurus ke depan.
-          Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau saat mencoba melihat sesuatu.
-          Lebih sulit melihat pada malam hari daripada siang hari.
-          Pernah menjalani operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat tebal tetapi masih tidak dapat melihat dengan jelas.

J. Strategi Pembelajaran Bagi Anak Tunanetra
Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1.      Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak (di satu sisi).
2.      Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain)
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, antara lain:
1.    Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks.
Di samping adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat kecacatan, dll).
Secara umum, harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education Program–IEP).
2.  Prinsip kekonkritan/pengalaman Penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa Bower (1986) disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung.
Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki dimensi jarak, bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision.
Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan disampaikan pada bagian khusus.
3.   Prinsip Totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut sebagai multi sensory approach, yaitu penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk mendapatkan gambaran mengenai burung, anak tunanetra harus melibatkan perabaan untuk mengenai ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan mungkin juga penciumannya agar mengenali bau khas burung.
Pengalaman anak mengenai burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak yang hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut. Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.
4.  Prinsip Aktivitas Mandiri (Selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.

0 comments:

Post a Comment