Friday, 6 February 2015

Tunadaksa (olahraga adaptif)




A.  Definisi Tunadaksa
Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa, istilah yang sering digunakan untuk menyebut anak tunadaksa adalah anak yang memiliki cacat fisik, tubuh atau cacat orthopedi. Dalam bahasa asing sering kali dijumpai istilah crippled, physically handicapped, physically disabled, dan sebagainya. Keragaman istilah yang dikemukakan untuk menyebutkan tunadaksa tergantung dari kesenangan
atau alasan tertentu dari para ahli yang bersangkutan. Meskipun istilah yang dikemukakan berbeda-beda, tapi secara material pada dasarnya memiliki makna yang sama (Pendidikan, 2006).
Tunadakasa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang, dan “daksa” yang berarti tubuh. Dalam banyak literatur, cacat tubuh atau kerusakan tubuh tidak terlepas dari pembahasan tentang kesehatan sehingga sering dijumpai judul “Physical and Health Impairments” (kerusakan atau gangguan fisik dan kesehatan). Hal ini disebabkan karena seringkali terdapat gangguan kesehatan.
Sebagai contoh, otak adalah pusat kontrol seluruh tubuh manusia. Apabila ada sesuatu yang salah pada otak (luka atau infeksi), maka dapat mengakibatkan suatu kelainan pada fisik atau tubuh, juga pada emosi atau terhadap fungsi-fungsi mental. Luka yang terjadi pada bagian otak, baik sebelum, saat, maupun sesudah kelahiran, dapat menyebabkan retardasi dari mental.

B.   Klasifikasi Anak Tunadaksa
Pada dasarnya kelainan pada anak tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) kelainan pada sistem serebral (Cerebral System), dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka (Musculus Skeletal System).
Penggolongan anak tunadaksa kedalam kelainan sistem serebral (cerebral) didasarkan pada letak penyebab kelahiran yang terletak didalam sistem syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Kerusakan pada sistem syarap pusat mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial, karena otak dan sumsum tulang belakang sumsum merupakan pusat komputer dari aktivitas hidup manusia. Di dalamnya terdapat pusat kesadaran, pusat ide, pusat kecerdasan, pusat motorik, pusat sensoris dan lain sebagainya. Kelompok kerusakan bagian otak ini disebut CerebralPalsy(CL). Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan menurut : (a) derajat kecacatan (b) topograpi anggota badan yang cacat dan (c) Sisiologi kelainan geraknya.
Menurut derajat kecacatan, cerebal palsy dapat digolongkan atas : golongan ringan, golongan sedang, dan golongan berat.
1.  Golongan ringan adalah : mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat, berbicara tegas, dapat menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat hidup bersama-sama dengan anak normal lainnya, meskipun cacat tetapi tidak mengganggu kehidupan dan pendidikannya.
2.  Golongan sedang : ialah mereka yang membutuhkan treatment/latihan khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri, golongan ini memerlukan alat-lat khusus untuk membantu gerakannya, seperti brace untuk membantu penyangga kaki, kruk/tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan pertolongan secara khusus, anak-anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus dirinya sendiri.
3.  Golongan berat : anak cerebral palsy golongan ini yang tetap membutuhkan perawatan dalam ambulasi, bicara, dan menolong dirinya sendiri, mereka tidak dapat hidup mandiri ditengah-tengah masyarakat.
Dilihat dari topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh, Cerebrol Palsy dapat digolongkan menjadi 6 (enam) golongan yaitu:
1.    Monoplegia, hanya satu anggota gerak yang lumpuh misal kaki kiri sedang kaki kanan dan kedua tangannya normal.
2.     Hemiplegia, lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang sama, misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan kaki kiri.
3.    Paraplegia, lumpuh pada kedua tungkai kakinya.
4.    Diplegia, lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan dan kiri (paraplegia).
5.    Triplegia, tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan kanan dan kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua kakinya lumpuh.
6.    Quadriplegia, anak jenis ini mengalami kelumpuhan seluruhnya anggota geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan dan kedua kakinya, quadriplegia disebutnya juga tetraplegia
Karakteristik anak tunadaksa ditinjau dari beberapa segi, antara lain :
1.      Karakteristik akademis anak tunadaksa meliputi ciri khas kecerdasan, kemampuan kognisi, persepsi dan simblisasi mengalam kelainan karena terganggunya sisitem cerebral sehingga mengalami hambatan dalam belajar, dan mengurus diri. Anak tundaksa karena kelainan pada sistem otot dan rangka tidak terganggu sehingga dapat belajar, seperti anak normal.
2.      Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa menunjukkan bahwa konse diri dan respons serta sikap masyarakat yang negatif terhadap anak tunadaksa mengakibatkan anak tunadaksa merasa tidak mampu, tidak berguna dan menjadi rendah diri. Akibatnya, kepercayan dirinya hilang dan akhirnya tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Mereka juga menunjukkan sikap mudah tersinggung, mudah marah, lekas putus asa, rendah diri, kurang dapat bergaul, malu dan suka menyendiri, serta frustasi berat.
3.      Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh, juga mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendenganran, penglihatan, gangguan bicara, dan gangguan motorik.
Tujuan utama pendidikan anak tunadaksa adalah terbentukyna kemandirian dan keutuhan pribadi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sekurang-kurangnya tujuh aspek yang perlu dikembangkan melalui pendidikan pada anak tunadaksa, yaitu :
a. Pengembangan intelektual dan akademik
b. Membantu perkembangan fisik
c. Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak
d. Mematangkan moral dan spiritual,
e. Meningkatkan ekspresi diri
f. Mempersiapkan masa depan anak
Terapi Untuk Tuna Daksa
a.           Fisioterapi
Terapi ini berguna untuk melatih otot-otot  bagian badan yang mengalami kelainan.
b.           Okupasi terapi
Bentuk usaha atau aktivitas bersifat fisik dan psikis denagn tujuan membantu penderita agar menjadi lebih kuat dari kondisi sebelunya melalui sejumlah aktivitas atau pekerjaan  tertentu.
c.           Activities Daily Living(ADL)
Adalah latihan dengan berbagai kegiatan sehari-hari,dengan maksud untuk melatih pender itanya agar mampu melakukan gerakan atau perbuatan menurut keterbatasan fisiknya.
d.          Pemberian Prostese
Dengan memberi  perangkat tiruan untuk mengganti bagian-bagian yang  hilang.
e.           Perangkat Orthopedi
Perangkat yang berfungsi menguatkan bagian-bagian tubuh yang lemah atau layu.

C. Implikasi Pendidikan Anak Tunadaksa
Dalam dunia Pendidikan pada prinsipnya guru mempunyai peranan ganda. Disatu pihak, guru berfungsi sebagai pengajar, pendidik, dan pelatih bagi anak didik. Dipihak lain, guru berfungsi sebagai pengganti orang tua murid di sekolah.
Dengan demikian secara tidak langsung mereka dituntut untuk menjadi manusia serba bisa dan serba biasa, lebih-lebih bila dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan pada saat ini, yaitu bahwa orang tua dan masyarakat pada umumnya masih mempunyai anggapan yang keliru. Mereka berpendapat bahwa berhasil atau tidaknya pendidikan anak-anak mereka diserahkan sepenuhnya pada pihak sekolah, termasuk didalamnya para guru, tanpa ikut campur mereka.
Keadaan semacam ini lebih komplit lagi dalam dunia pendidikan luar biasa karena subjek didik yang dihadapi memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu, baik kemanpuan fisik, mental, emosi maupun dalam usaha penyesuaian diri dengan pihak luar atau lingkunagan sekitar. Oleh karena itu, tugas guru semakin berat yang dituntut keahlian serta keterampilan tertentu, baik dalam bidang metedologi yang bersifat khusus, maupun dalam bidang pelayanan terapi.
Anak tunadaksa pada dasarnya sama dengan anak-anak normal lainnya. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari fisik dan psiko-sosial. Dari segi fisik, mereka dapat makan, minum, dan kebutuhan yang tidak dapat ditunda dalam beberapa menit yaitu bernafas. Sedangkan dari aspek psiko-sosial, mereka memerlukan rasa aman dalam bermobilisasi, perlu afiliasi, butuh kasih sayang dari orang lain, diterima dan perlu pendidikan.
Adapun unsur kesamaan kebutuhan antara anak tunadaksa dan anak normal, karena pada dasarnya mereka memiliki fitrah yang sama sebagai manusia.
Pandangan yang melihat anak tunadaksa dan anak normal dari sudut kesamaan akan lebih banyak memberikan layanan optimal untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, ketimbang pandangan yang semata-mata mengekspos segi kekurangannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa orang sering melihat orang lain tentang kelemahannya, sehingga yang muncul adalah kritik atau cemoohan. Kiranya demikian, andaikata kita melihat anak tunadaksa semata-mata dari kecacatannya. Oleh karena itu, pandangan yang mendahulukan sifat positif pada anak tunadaksa perlu dimasyarakatkan supaya kesempatan perkembangan dirinya yang baik semakin lebar. Pendidikan yang juga merupakan kebutuhan anak tunadaksa perlu direncanakan dan dilaksanakan dengan mengacu pada kemampuan masing-masing anak tunasaksa.
Melalui pendidikan yang dapat dipertangung-jawabkan. Anak-anak tunadaksa diharapkan memiliki masa depan yang tidak selalu bergantung pada orang tua dan masyarakat.

D. Bagaimana Model Pelayanan Pendidikan
Sebagaimana diketahui, bahwa pendidikan bagi anak tidak selalu harus berlangsung disuatu lembaga pendidikan khusus, sebab sebagian dari mereka (anak tunadaksa) pendidikannya dapat berlangsung di sekolah dan kelas reguler/sekolah umum. Hal ini disebabkan oleh faktor kemampuan dan ketidakmampuan anak tunadaksa dan lingkungannya.
Evelyn Deno, (1970) dan Ronald L Taylor, (1984) menjelaskan system layanan pendidikan bagi anak luar biasa (termasuk anak tunadaksa) yang bervariasi, mulai dari sistem pendidikan di kelas dan sekolah reguler/umum sampai pendidikan yang diberikan disuatu rumah sakit, bahkan sampai pada bentuk layanan yang tidak memiliki makna edukasi sama sekali, yakni layanan yang diberikan kepada anak-anak tunadaksa dalam perawatan medis dan bantuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Dari kenyataan di lapangan bahwa anak tunadaksa memiliki problema penyerta. Problema penyerta ini berbeda-beda antara seorang anak tunadaksa yang satu dengan anak tunadaksa yang lainnya, tergantung dari pada penyebab ketunaannya, berat ringannya ketunaannya. Atas dasar kondisi anak tunadaksa tersebut, maka model pelayanan pendidikannya dibagi pada “Sekolah Khusus” dan “Sekolah Terpadu/Inklusi”.
  
E. Sekolah Khusus
Pelayanan pendidikan bagi anak tunadaksa di sekolah khusus ini diperuntukkan bagi anak yang mempunyai problema lebih berat, baik problema penyerta intelektualnya seperti retardasi mental maupun problema penyerta kesulitan lokomosi (gerakan) dan emosinya.
Di sekolah khusus ini pelayanan pendidikannya dibagi menjadi dua unit, yaitu unit sekolah khusus bagi anak tunadaksa ringan, dan unit sekolah khusus bagi anak tunadaksa sedang.
1.    Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Ringan (SLB-D)
Pelayanan pendidikan diunit tunadaksa ringan atau SLB-D diperlukan bagi anak tunadaksa yang tidak mempunyai problema penyerta retardasi mental, yaitu anak tunadaksa yang mempunyai intelektual rata-rata atau bahkan di atas rata-rata intelektual anak normal. Namun anak kelompok ini belum ditempatkan di sekolah terpadu/sekolah umum karena anak masih memerlukan terapi-terapi, seperti fisio terapi, speech therapy, occuppational therapy dan atau terapi yang lain. Dapat juga terjadi anak tunadaksa tidak ditempatkan di sekolah reguler karena derajad kecacatannya terlalu berat.
2.    Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Sedang (SLB-D1)
Pelayanan pendidikan diunit ini, diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang mempunyai problema seperti, emosi, persepsi atau campuran dari ketiganya disertai problema penyerta retardasi mental. Kelompok anak tunadaksa sedang ini mempunyai intelektual di bawah rata-rata anak normal.

F. Sekolah Terpadu/Inklusi
Bagi anak tunadaksa dengan problema penyerta relatif ringan, dan tidak disertai dengan problema penyerta retardasi mental akan sangat baik jika sedini mungkin pelayanan pendidikannya disatukan dengan anak-anak normal lainnya di sekolah reguler/sekolah umum. Karena anak tunadaksa tersebut sudah dapat mengatasi problema fisik maupun intelektual serta emosionalnya.
Namun walaupun kondisi penyerta anak tunadaksa cukup ringan, sekolah reguler yang ditunjuk untuk melayani pendidikannya perlu persiapan yang matang terlebih dahulu, baik persiapan sarana maupun prasarananya. Seperti persiapan aksesibilitas misalnya meminimalkan trap-trap atau tangga-tangga.
Jika memungkinkan dibuatkan ramp-ramp untuk akses kursi roda, atau bagi anak yang khusus menggunakan alat bantu jalan lainnya seperti kruk atau wolker. Bentuk meja atau kursi belajar disesuaikan dengan kondisi anak. Hal demikian memerlukan persiapan yang lebih terencana, sehingga tidak menimbulkan problema tambahan bagi anak tunadaksa. Juga bentuk toilet, kloset harus dapat dipergunakan bagi anak yang menggunakan kursi roda. Disamping itu sistem guru kunjung dapat membantu memecahkan permasalahan yang mungkin timbul pada anak tunadaksa dikemudian hari.

0 comments:

Post a Comment