A. Definisi
Tunadaksa
Menurut Direktorat
Pendidikan Luar Biasa, istilah yang sering digunakan untuk menyebut anak
tunadaksa adalah anak yang memiliki cacat fisik, tubuh atau cacat orthopedi.
Dalam bahasa asing sering kali dijumpai istilah crippled, physically
handicapped, physically disabled, dan sebagainya. Keragaman istilah
yang dikemukakan untuk menyebutkan tunadaksa tergantung dari kesenangan
atau alasan tertentu dari para ahli yang bersangkutan.
Meskipun istilah yang dikemukakan berbeda-beda, tapi secara material pada dasarnya
memiliki makna yang sama (Pendidikan, 2006).
Tunadakasa berasal dari kata
“tuna” yang berarti rugi atau kurang, dan “daksa” yang berarti tubuh. Dalam
banyak literatur, cacat tubuh atau kerusakan tubuh tidak terlepas dari
pembahasan tentang kesehatan sehingga sering dijumpai judul “Physical and
Health Impairments” (kerusakan atau gangguan fisik dan kesehatan). Hal ini
disebabkan karena seringkali terdapat gangguan kesehatan.
Sebagai contoh, otak adalah
pusat kontrol seluruh tubuh manusia. Apabila ada sesuatu yang salah pada otak
(luka atau infeksi), maka dapat mengakibatkan suatu kelainan pada fisik atau
tubuh, juga pada emosi atau terhadap fungsi-fungsi mental. Luka yang terjadi
pada bagian otak, baik sebelum, saat, maupun sesudah kelahiran, dapat menyebabkan
retardasi dari mental.
Pada
dasarnya kelainan pada anak tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
besar, yaitu (1) kelainan pada sistem serebral (Cerebral System), dan (2)
kelainan pada sistem otot dan rangka (Musculus Skeletal System).
Penggolongan anak tunadaksa kedalam kelainan sistem serebral (cerebral)
didasarkan pada letak penyebab kelahiran yang terletak didalam sistem syaraf
pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Kerusakan pada sistem syarap pusat
mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial, karena otak dan sumsum tulang
belakang sumsum merupakan pusat komputer dari aktivitas hidup manusia. Di
dalamnya terdapat pusat kesadaran, pusat ide, pusat kecerdasan, pusat motorik,
pusat sensoris dan lain sebagainya. Kelompok kerusakan bagian otak ini disebut
CerebralPalsy(CL). Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan menurut : (a) derajat
kecacatan (b) topograpi anggota badan yang cacat dan (c) Sisiologi kelainan
geraknya.
Menurut
derajat kecacatan, cerebal palsy dapat digolongkan atas : golongan ringan,
golongan sedang, dan golongan berat.
1. Golongan ringan
adalah : mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat, berbicara tegas,
dapat menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat hidup
bersama-sama dengan anak normal lainnya, meskipun cacat tetapi tidak mengganggu
kehidupan dan pendidikannya.
2. Golongan sedang :
ialah mereka yang membutuhkan treatment/latihan khusus untuk bicara, berjalan,
dan mengurus dirinya sendiri, golongan ini memerlukan alat-lat khusus untuk
membantu gerakannya, seperti brace untuk membantu penyangga kaki, kruk/tongkat
sebagai penopang dalam berjalan. Dengan pertolongan secara khusus, anak-anak
kelompok ini diharapkan dapat mengurus dirinya sendiri.
3. Golongan berat : anak
cerebral palsy golongan ini yang tetap membutuhkan perawatan dalam ambulasi,
bicara, dan menolong dirinya sendiri, mereka tidak dapat hidup mandiri
ditengah-tengah masyarakat.
Dilihat dari
topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh, Cerebrol Palsy dapat
digolongkan menjadi 6 (enam) golongan yaitu:
1.
Monoplegia,
hanya satu anggota gerak yang lumpuh misal kaki kiri sedang kaki kanan dan
kedua tangannya normal.
2.
Hemiplegia, lumpuh anggota gerak atas dan
bawah pada sisi yang sama, misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan
kiri dan kaki kiri.
3.
Paraplegia,
lumpuh pada kedua tungkai kakinya.
4.
Diplegia,
lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan dan kiri (paraplegia).
5.
Triplegia,
tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan kanan dan kedua
kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua kakinya lumpuh.
6.
Quadriplegia, anak jenis ini mengalami kelumpuhan
seluruhnya anggota geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan dan kedua kakinya,
quadriplegia disebutnya juga tetraplegia
Karakteristik
anak tunadaksa ditinjau dari beberapa segi, antara lain :
1.
Karakteristik
akademis anak tunadaksa meliputi ciri khas kecerdasan, kemampuan kognisi,
persepsi dan simblisasi mengalam kelainan karena terganggunya sisitem cerebral
sehingga mengalami hambatan dalam belajar, dan mengurus diri. Anak tundaksa
karena kelainan pada sistem otot dan rangka tidak terganggu sehingga dapat
belajar, seperti anak normal.
2.
Karakteristik
sosial/emosional anak tunadaksa menunjukkan bahwa konse diri dan respons serta
sikap masyarakat yang negatif terhadap anak tunadaksa mengakibatkan anak
tunadaksa merasa tidak mampu, tidak berguna dan menjadi rendah diri. Akibatnya,
kepercayan dirinya hilang dan akhirnya tidak dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosialnya. Mereka juga menunjukkan sikap mudah tersinggung, mudah
marah, lekas putus asa, rendah diri, kurang dapat bergaul, malu dan suka
menyendiri, serta frustasi berat.
3.
Karakteristik
fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh, juga
mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendenganran,
penglihatan, gangguan bicara, dan gangguan motorik.
Tujuan utama
pendidikan anak tunadaksa adalah terbentukyna kemandirian dan keutuhan pribadi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, sekurang-kurangnya tujuh aspek yang perlu
dikembangkan melalui pendidikan pada anak tunadaksa, yaitu :
a. Pengembangan intelektual dan akademik
b. Membantu perkembangan fisik
c. Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak
d. Mematangkan moral dan spiritual,
e. Meningkatkan ekspresi diri
f. Mempersiapkan masa depan anak
Terapi Untuk
Tuna Daksa
a.
Fisioterapi
Terapi ini berguna untuk melatih otot-otot bagian badan yang
mengalami kelainan.
b.
Okupasi
terapi
Bentuk usaha atau aktivitas bersifat fisik dan psikis denagn tujuan
membantu penderita agar menjadi lebih kuat dari kondisi sebelunya melalui
sejumlah aktivitas atau pekerjaan tertentu.
c.
Activities
Daily Living(ADL)
Adalah latihan dengan berbagai kegiatan sehari-hari,dengan maksud untuk
melatih pender itanya agar mampu melakukan gerakan atau perbuatan menurut
keterbatasan fisiknya.
d.
Pemberian
Prostese
Dengan memberi perangkat tiruan untuk mengganti bagian-bagian
yang hilang.
e.
Perangkat
Orthopedi
Perangkat yang berfungsi menguatkan bagian-bagian tubuh yang lemah atau layu.
C. Implikasi
Pendidikan Anak Tunadaksa
Dalam dunia Pendidikan
pada prinsipnya guru mempunyai peranan ganda. Disatu pihak, guru berfungsi
sebagai pengajar, pendidik, dan pelatih bagi anak didik. Dipihak lain, guru
berfungsi sebagai pengganti orang tua murid di sekolah.
Dengan demikian secara
tidak langsung mereka dituntut untuk menjadi manusia serba bisa dan serba
biasa, lebih-lebih bila dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan pada saat ini,
yaitu bahwa orang tua dan masyarakat pada umumnya masih mempunyai anggapan yang
keliru. Mereka berpendapat bahwa berhasil atau tidaknya pendidikan anak-anak
mereka diserahkan sepenuhnya pada pihak sekolah, termasuk didalamnya para guru,
tanpa ikut campur mereka.
Keadaan semacam ini
lebih komplit lagi dalam dunia pendidikan luar biasa karena subjek didik yang dihadapi
memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu, baik kemanpuan fisik, mental,
emosi maupun dalam usaha penyesuaian diri dengan pihak luar atau lingkunagan
sekitar. Oleh karena itu, tugas guru semakin berat yang dituntut keahlian serta
keterampilan tertentu, baik dalam bidang metedologi yang bersifat khusus,
maupun dalam bidang pelayanan terapi.
Anak tunadaksa pada
dasarnya sama dengan anak-anak normal lainnya. Kesamaan tersebut dapat dilihat
dari fisik dan psiko-sosial. Dari segi fisik, mereka dapat makan, minum, dan
kebutuhan yang tidak dapat ditunda dalam beberapa menit yaitu bernafas.
Sedangkan dari aspek psiko-sosial, mereka memerlukan rasa aman dalam
bermobilisasi, perlu afiliasi, butuh kasih sayang dari orang lain, diterima dan
perlu pendidikan.
Adapun unsur kesamaan
kebutuhan antara anak tunadaksa dan anak normal, karena pada dasarnya mereka
memiliki fitrah yang sama sebagai manusia.
Pandangan yang melihat anak tunadaksa dan anak normal dari sudut kesamaan akan lebih banyak memberikan layanan optimal untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, ketimbang pandangan yang semata-mata mengekspos segi kekurangannya.
Pandangan yang melihat anak tunadaksa dan anak normal dari sudut kesamaan akan lebih banyak memberikan layanan optimal untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, ketimbang pandangan yang semata-mata mengekspos segi kekurangannya.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa orang sering melihat orang lain tentang kelemahannya, sehingga yang
muncul adalah kritik atau cemoohan. Kiranya demikian, andaikata kita melihat
anak tunadaksa semata-mata dari kecacatannya. Oleh karena itu, pandangan yang
mendahulukan sifat positif pada anak tunadaksa perlu dimasyarakatkan supaya
kesempatan perkembangan dirinya yang baik semakin lebar. Pendidikan yang juga
merupakan kebutuhan anak tunadaksa perlu direncanakan dan dilaksanakan dengan
mengacu pada kemampuan masing-masing anak tunasaksa.
Melalui pendidikan yang
dapat dipertangung-jawabkan. Anak-anak tunadaksa diharapkan memiliki masa depan
yang tidak selalu bergantung pada orang tua dan masyarakat.
D. Bagaimana Model Pelayanan Pendidikan
Sebagaimana diketahui,
bahwa pendidikan bagi anak tidak selalu harus berlangsung disuatu lembaga
pendidikan khusus, sebab sebagian dari mereka (anak tunadaksa) pendidikannya
dapat berlangsung di sekolah dan kelas reguler/sekolah umum. Hal ini disebabkan
oleh faktor kemampuan dan ketidakmampuan anak tunadaksa dan lingkungannya.
Evelyn Deno, (1970) dan
Ronald L Taylor, (1984) menjelaskan system layanan pendidikan bagi anak luar
biasa (termasuk anak tunadaksa) yang bervariasi, mulai dari sistem pendidikan
di kelas dan sekolah reguler/umum sampai pendidikan yang diberikan disuatu
rumah sakit, bahkan sampai pada bentuk layanan yang tidak memiliki makna
edukasi sama sekali, yakni layanan yang diberikan kepada anak-anak tunadaksa
dalam perawatan medis dan bantuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Dari kenyataan di
lapangan bahwa anak tunadaksa memiliki problema penyerta. Problema penyerta ini
berbeda-beda antara seorang anak tunadaksa yang satu dengan anak tunadaksa yang
lainnya, tergantung dari pada penyebab ketunaannya, berat ringannya
ketunaannya. Atas dasar kondisi anak tunadaksa tersebut, maka model pelayanan
pendidikannya dibagi pada “Sekolah Khusus” dan “Sekolah Terpadu/Inklusi”.
E.
Sekolah Khusus
Pelayanan pendidikan
bagi anak tunadaksa di sekolah khusus ini diperuntukkan bagi anak yang
mempunyai problema lebih berat, baik problema penyerta intelektualnya seperti
retardasi mental maupun problema penyerta kesulitan lokomosi (gerakan) dan
emosinya.
Di sekolah khusus ini
pelayanan pendidikannya dibagi menjadi dua unit, yaitu unit sekolah khusus bagi
anak tunadaksa ringan, dan unit sekolah khusus bagi anak tunadaksa sedang.
1. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Ringan (SLB-D)
Pelayanan
pendidikan diunit tunadaksa ringan atau SLB-D diperlukan bagi anak tunadaksa yang
tidak mempunyai problema penyerta retardasi mental, yaitu anak tunadaksa yang
mempunyai intelektual rata-rata atau bahkan di atas rata-rata intelektual anak
normal. Namun anak kelompok ini belum ditempatkan di sekolah terpadu/sekolah
umum karena anak masih memerlukan terapi-terapi, seperti fisio terapi, speech
therapy, occuppational therapy dan atau terapi yang lain. Dapat juga terjadi
anak tunadaksa tidak ditempatkan di sekolah reguler karena derajad kecacatannya
terlalu berat.
2. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Sedang
(SLB-D1)
Pelayanan
pendidikan diunit ini, diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang mempunyai
problema seperti, emosi, persepsi atau campuran dari ketiganya disertai
problema penyerta retardasi mental. Kelompok anak tunadaksa sedang ini mempunyai
intelektual di bawah rata-rata anak normal.
F. Sekolah
Terpadu/Inklusi
Bagi anak tunadaksa dengan problema penyerta relatif
ringan, dan tidak disertai dengan problema penyerta retardasi mental akan
sangat baik jika sedini mungkin pelayanan pendidikannya disatukan dengan
anak-anak normal lainnya di sekolah reguler/sekolah umum. Karena anak tunadaksa
tersebut sudah dapat mengatasi problema fisik maupun intelektual serta
emosionalnya.
Namun walaupun kondisi penyerta anak tunadaksa cukup
ringan, sekolah reguler yang ditunjuk untuk melayani pendidikannya perlu
persiapan yang matang terlebih dahulu, baik persiapan sarana maupun
prasarananya. Seperti persiapan aksesibilitas misalnya meminimalkan trap-trap atau
tangga-tangga.
Jika memungkinkan dibuatkan ramp-ramp untuk akses
kursi roda, atau bagi anak yang khusus menggunakan alat bantu jalan lainnya
seperti kruk atau wolker. Bentuk meja atau kursi belajar disesuaikan dengan
kondisi anak. Hal demikian memerlukan persiapan yang lebih terencana, sehingga
tidak menimbulkan problema tambahan bagi anak tunadaksa. Juga bentuk toilet,
kloset harus dapat dipergunakan bagi anak yang menggunakan kursi roda.
Disamping itu sistem guru kunjung dapat membantu memecahkan permasalahan yang
mungkin timbul pada anak tunadaksa dikemudian hari.
0 comments:
Post a Comment