Friday, 6 February 2015

VO2 Maks



A.  O2 maks
O2 maks adalah volume oksigen maksimal yang dapat diambil tubuh saat melakukan kegiatan. Menurut Katch (2011:192) O2 maks adalah pencapaian pengambilan oksigen tertinggi meskipun intensitas latihan meningkat. Oksigen diambil dari udara bebas melalui sistem pernapasan, kemudian diikat oleh darah dan dipompa oleh jantung untuk diedarkan ke seluruh tubuh. O2 maks merefleksikan keadaan paru, kardiovaskuler, dan hematologik dalam pengantaran oksigen, serta mekanisme oksidatif dari otot yang melakukan aktivitas (Uliyandari, 2009:6). VO2 maks menggambarkan jumlah terbesar oksigen dari individu yang dapat digunakan untuk memproduksi ATP secara aerobik dalam per menit (Katch, 2011:221). Oksigen yang diedarkan akan digunakan sebagai bahan pembentukan energi. Hal ini menunjukkan bahwa O2 maks dapat dijadikan indikator untuk mengetahui tingkat daya tahan seseorang. Penentuan atau prediksi O2 maks dapat dilakukan dengan banyak tes, salah satunya adalah tes lari multistage (multistage fitness test).
Tes lari multistage adalah tes lari dengan cara mengikuti irama audio multistage yang terdiri dari beberapa level dan balikan. Level awal tes mempunyai durasi audio antar balikan yang cukup lama. Semakin tinggi level maka semakin kecil durasi irama audio dan semakin banyak pula balikan yang harus diselesaikan. Penilaian dilakukan ketika pelari mampu melewati level dan balikan. Pelari dianggap gagal dan berhenti dalam tes ketika tidak mampu menyesuaikan irama audio selama dua kali berturut-turut.
1.    Faktor yang Mempengaruhi O2 maks
O2 maks berperan penting dalam olahraga yang mempunyai durasi lama, seperti sepakbola. Untuk dapat melakukan olahraga dalam durasi lama, maka kebutuhan energi harus terpenuhi. Energi ini disediakan dan dipenuhi dalam bentuk ATP (adenosin triphospate). Energi yang dihasilkan tersebut merupakan hasil pembakaran dengan oksigen, dengan begitu energi yang dihasilkan akan bertahan lama. Beberapa faktor yang mempengaruhi O2 maks a) model latihan, b) hereditas, c) jenis kelamin, d) komposisi tubuh, dan e) umur (Katch, 2011:226). Berikut ini penjelasan dari masing-masing faktor.
a.    Model Latihan
Model latihan berpengaruh pada O2 maks seseorang. Variasi tingkat O2 maks dalam perbedaan model latihan merefleksikan kuantitas massa otot aktif (Katch, 2011:226). Latihan yang rutin diberikan akan membentuk massa otot. Tekanan atau stressor yang diberikan pada otot tertentu akan direspon tubuh hanya pada otot itu pula. Stressor yang diberikan berulang-ulang akan menjadi adaptasi bagi tubuh. Adaptasi ini yang penting dijaga oleh tubuh agar tidak terjadi penurunan.
Latihan sangat penting untuk peningkatan O2 maks. Latihan yang diberikan untuk meningkatkan O2 maks akan berdampak pada sistem pernapasan dan sistem kardiovaskuler. Sistem tersebut akan mengalami adaptasi, sehingga kinerjanya dapat meningkat. Adaptasi yang terjadi adalah pada paru-paru yaitu pada volume tidal, rata-rata inspirasi dan ekspirasi, dan ventilasi paru-paru untuk pertukaran oksigen, juga akan terjadi penambahan ukuran jantung dan kenaikan volume plasma pada cardiac output sehingga oksigen sekali denyut bertambah. (Sakthivelavan, 2009:128).
b.   Hereditas
Semua faktor fisiologis yang mempengaruhi O2 maks dapat dipengaruhi oleh faktor genetika atau hereditas. Hereditas merupakan faktor yang berperan penting pada O2 maks. Katch (2011:228) mengatakan untuk faktor keturunan saja menyumbang hingga 93% dari perbedaan yang diamati dalam O2 maks. Banyak faktor hereditas yang mempengaruhi O2 maks seseorang, salah satunya perbedaan proporsi jenis serabut otot (Rakhman, 2012:12). Serabut otot pada manusia dibagi atas dua tipe, yaitu tipe lambat dan tipe cepat. Serabut otot lambat (otot merah) mempunyai massa mitokondria dan tingkat enzim lebih tinggi dari pada serabut otot cepat (otot putih). Hal ini membuat tubuh mampu melakukan olahraga dengan durasi yang lama. Serabut otot merah membakar energi dengan bantuan oksigen sehingga dapat diproduksi tanpa ada batas waktu, namun energi yang dihasilkan tidak terlalu besar dibanding serabut otot putih. Serabut otot putih dapat membakar energi yang sangat besar, namun durasi untuk mengeluarkan energi tersebut tidak lama.
c.    Jenis Kelamin
Katch (2011:228) mengatakan O2 maks untuk perempuan 15% sampai 30% di bawah nilai laki-laki, sedangkan pada atlet kesenjangan berkisar antara 10% sampai 20%. Hal ini karena memang fisiologis tubuh laki-laki dan perempuan berbeda. Perbedaan tingkat O2 maks tersebut berbeda kare komposisi tubuh dan konsentrasi hemoglobin yang berbeda dari laki-laki dan perempuan (Katch, 2011:228). Komposisi tubuh perempuan lebih banyak lemak dari pada otot dibanding dengan  laki-laki. Hal tersebut menyebabkan perempuan mempunyai O2 maks yang lebih kecil, karena energi diproduksi di dalam mitokondria sel. Konsentrasi hemoglobin laki-laki juga lebih tinggi dari pada perempuan. Konsentrasi hemoglobin berkaitan erat dengan pengikatan oksigen yang dibutuhkan tubuh untuk proses pembakaran energi, sehingga laki-laki dapat secara optimal memproduksi energi.
d.   Komposisi Tubuh
Katch (2011:228) menyatakan perbedaan massa tubuh menjelaskan sekitar 70% dari perbedaan O2 maks antar seseorang. Komposisi tubuh atau ukuran tubuh setiap orang berbeda-beda, begitu pula dengan massanya. Seseorang yang mempunyai lemak bebas berlebih mempunyai O2 maks yang rendah. Seseorang mampu memproduksi energi lebih baik jika tempat untuk memproduksi (mitokondria di dalam sel) lebih besar dan banyak. Bukan pada massa lemak yang tinggi. Seseorang yang memiliki massa lemak berlebih mempunyai O2 maks yang rendah (Katch, 2011:228).
e.    Umur
Faktor umur dapat mempengaruhi tingkat O2 maks. Hal ini mengarah pada penuaan yang terjadi ketika umur masuk pada usia tua. Fungsi fisiologis tubuh mengalami penurunan fungsi yang cukup drastis, sehingga tubuh tidak dapat berfungsi optimal seperti sebelum terjadi penurunan. Penurunan fungsi tersebut menyebabkan kinerja organ dan sistem organ tubuh banyak yang tidak maksimal.
2.    Pentingnya O2 maks pada Sepakbola
O2 maks penting untuk diketahui pemain sepakbola. Sebab O2 maks merupakan indikator tingkat daya tahan seorang pemain selama bertanding. Terdapat korelasi yang signifikan antara O2 maks dengan jarak yang ditempuh oleh pemain sepakbola selama bertanding (Kavcic, 2012:19). Sepakbola mempunyai standar O2 maks yang harus dicapai oleh setiap pemain. Setiap posisi dalam sepakbola juga memiliki standar O2 maks yang berbeda pula. Berikut tabel capaian O2 maks dunia internasional dalam tiap posisi:
Tabel 2.3 Rata-rata O2 maks Dunia Internasional (Scheunemann, 2012:153)
 

Tabel 2.3 menunjukkan bahwa pemain gelandang dan bek sayap harus mempunyai O2 maks yang tinggi dibanding dengan posisi yang lain. Hal ini disebabkan seorang gelandang merupakan pemain yang mengatur jalannya permainan, dan harus memiliki mobilitas yang tinggi, sedangkan bek sayap memerlukan O2 maks yang tinggi karena selama pertandingan dibutuhkan untuk maju dan mundur dengan cepat secara beruntun demi kelancaran penyerangan dan pertahanan. Pemain sepakbola tidak boleh mangabaikan kebutuhan O2 maks tersebut. Sebab persaingan di dalam dunia sepakbola juga semakin ketat.

Hemoglobin



A.  Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein yang kaya dengan zat besi (Nangsari, 1988:203). Hemoglobin dibentuk oleh dua bagian komponen yang bersama-sama membentuk satu subunit protein gabungan, yaitu satu pigmen yang berisi besi disebut heme terikat dan satu molekul peptida yang disebut globin. Setiap molekul hemoglobin berisi empat atom besi dalam bentuk fero (Fe++). Protein ini memiliki daya gabung (afinitas) terhadap oksigen. Ikatan hemoglobin dan oksigen disebut pula oksihemoglobin. Hemoglobin yang berikatan dengan karbondioksida menjadi karboxyhemoglobin dan warnyanya merah tua. Kemampuan yang dimiliki hemoglobin tersebut sangat berpengaruh penting bagi tubuh. Pengikatannya dengan oksigen dapat berpengaruh pada suplai energi dalam tubuh. Karena energi dapat diproduksi secara aerobik ketika terdapat oksigen. Sedangkan berikatannya dengan karbondioksida dapat membawa zat tersebut menuju paru-paru untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh dan ditukar kembali dengan oksigen.
Hemoglobin merupakan suatu senyawa protein dengan Fe (besi) yang dinamakan conjugated protein. Sebagai intinya Fe dengan rangka protoperphyrin dan globin (teta phirin) menyebabkan warna darah merah karena ini. Berikut gambar rumus hemoglobin.



Gambar 2.1 Struktur Molekul Hemoglobin (Sumber: Guyton & Hall, 2006:424)

1.    Kadar Hemoglobin
Kadar hemoglobin yang diukur berada dalam butiran-butiran darah merah. Jumlah hemoglobin dalam darah normal adalah kira-kira 15gr setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut 100% (Pearce, 2009:168). Batas ambang kadar hemoglobin adalah ˃13 gr/dl untuk laki-laki dewasa dan ˃12gr/dl untuk perempuan (WHO, 2008:4). Kisaran kadar hemoglobin normal untuk anak-anak 12-14 tahun adalah antara 12-15 gr/dl (El-Zammar, 2011:14). Sedangkan untuk laki-laki 15 tahun ke atas mempunyai rentang kadar hemoglobin 13-16 gr/dl (El-Zammar, 2011:14). Kadar hemoglobin harus tetap dalam rentangan, jika di luar rentangan maka tubuh akan mengalami fungsi fisiologis di luar dari keadaan normal. Berikut tabel batas bawah norma kadar hemoglobin setiap kelompok umur. Hal ini penting untuk diketahui agar dapat mengantisipasi terjadinya anemia. 
Tabel 2.1 Batas Normal Kadar Hemoglobin Setiap Kelompok Umur (WHO, 2008:4)
Rentangan Umur
Ambang Batas Bawah Kadar Hemoglobin (gr/dl)
Anak usia 0,5-4,99 tahun
Anak usia 5-11,99 tahun
Anak usia 12-14,99 tahun
Wanita tidak hamil
Wanita hamil
Laki-laki
11
11,5
12
12
11
13

Kadar hemoglobin harus diperhatikan oleh setiap orang. Pada tabel 2.1 merupakan tabel ambang batas bawah dari WHO. Ambang batas bawah diperlukan untuk mengantisipasi agar tidak terjadi anemia. Namun, batas ambang atas juga diperlukan, karena hemoglobin yang terlalu tinggi berbahaya bagi tubuh. Di bawah ini tabel rentangan kadar hemoglobin normal oleh El-zammar.
Tabel 2.2 Tabel Rentangan Kadar Hemoglobin Normal (El-Zammar, 2011:14)
Umur
Jenis Kelamin
Batas Bawah (gr/dl)
Batas Atas (gr/dl)
<5 tahun
5-11 tahun
12-14 tahun
>15 tahun
>15 tahun
>15 tahun
L/P
L/P
L/P
Perempuan (tidak hamil)
Perempuan (hamil)
Laki-laki
11
11,5
12
12
12
13
<14
<14,5
<15
<15
<14
<16

2.    Manfaat Hemoglobin
Hemoglobin mempunyai manfaat yang penting bagi tubuh. Sesuai dengan fungsinya mengikat oksigen, hemoglobin harus ada di dalam darah. Wikipedia (2013) mendefinisikan hemoglobin sebagai berikut.
Hemoglobin adalah metaloprotein (protein yang mengandung zat besi) di dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh, pada mamalia dan hewan lainnya. Hemoglobin juga pengusung karbon dioksida kembali menuju paru-paru untuk dihembuskan keluar tubuh.

Fungsi hemoglobin dalam darah tidak hanya mengangkut oksigen dan karbon dioksida. Soewolo (2005:200) mengatakan “walaupun fungsi hemoglobin yang utama adalah membawa oksigen dan karbondioksida, hemoglobin juga memerankan bagian penting dalam pengaturan keseimbangan asam-basa dalam tubuh”.
3.    Faktor yang Mempengaruhi Kadar Hemoglobin
Kadar hemoglobin setiap orang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya adalah faktor nutrisi, latihan, ketinggian, umur dan jenis kelamin, dan merokok. Faktor tersebut sangat penting untuk diketahui, karena dapat berpengaruh pada fisiologis tubuh yang berkaitan dengan hemoglobin. Berikut penjelasan dari faktor-faktor di atas.
a.    Nutrisi
Konsumsi makanan berpengaruh dalam kadar hemoglobin. Makanan yang masuk ke dalam tubuh akan diproses dan dipecah menjadi zat-zat sesuai yang terkandung dalam makanan tersebut. Makanan yang berpengaruh dalam kadar hemoglobin adalah makanan yang banyak mengandung besi. Konsentrasi hemoglobin secara signifikan lebih tinggi dilaporkan pada siswa yang sering makan daging, sering mengonsumsi buah jeruk, dan sayuran berdaun hijau (Sirdah, 2008:231). Besi yang terkandung dalam makanan akan dimetabolisme tubuh untuk menjadi bahan hemoglobin. Hemoglobin dibentuk dalam sumsum tulang.
b.   Latihan
Latihan merupakan stressor bagi tubuh. Tubuh dipaksa melakukan aktivitas lebih dari biasanya. Aktivitas yang lebih membutuhkan pasokan oksigen yang lebih pula, terutama aktivitas yang menggunakan sistem energi aerobik. Latihan tidak hanya membutuhkan oksigen yang labih, namun dapat pula memproduksi radikal bebas dalam tubuh. Selama latihan tubuh akan menghasilkan reactive oxygen species (ROS), yang merupakan radikal bebas. Bahkan ketika tubuh tidak aktif, sejumlah kecil ROS tetap diproduksi. ROS dapat mengganggu keadaan fisiologis tubuh. Keadaan ini membuat tubuh akan merespon dengan mempertinggi aktivitas superoxide dismutase (SOD) dan enzim pelindung dalam darah. Selain itu, efek ROS yang tinggi dapat menyebabkan pemecahan hemoglobin yang tinggi. Konsumsi oksigen yang tinggi dan adanya radikal bebas dalam tubuh dapat menyebabkan perubahan kesesuaian hemoglobin selama latihan (Gwozdzinski, 2013:2).
Latihan dapat menyebabkan terjadinya hipoksia pada tubuh. Hal ini desebabkan kebutuhan oksigen saat latihan sangat tinggi. Ketika tubuh mengalami keadaan hipoksia maka kebutuhan oksigen pada jaringan tidak dapat terpenuhi, dan tubuh akan merespon dengan mensekresi hormon eritropoietin. Satu kemungkinan yang menyebabkan ginjal mensekresi eritropoietin adalah karena darah tidak mampu mengirim oksigen pada sel-sel yang membutuhkan konsumsi oksigen tinggi, hal ini menstimulasi produksi eritropoietin (Guyton dan Hall, 2006:422). Hormon eritropoietin dapat menstimulasi pembentukan proeritroblast. Proeritroblast merupakan bakal yang akan menjadi hemoglobin atau sel darah merah.
c.    Ketinggian
Dataran tinggi mempunyai kadar oksigen yang lebih sedikit dari daerah dataran rendah. Hal ini menyebabkan seseorang mengalami kekurangan oksigen (hipoksia). Keadaan hipoksia akan mendapatkan respon dari tubuh. Tubuh  akan mengompensasi keadaan hipoksia dengan cara memproduksi hemoglobin lebih banyak. Pada umumnya kadar hemoglobin akan naik 0,6 gr/dl pada wanita dan 0,9 gr/dl untuk laki-laki pada setiap 1000 m di atas permukaan laut (Wyck, 2006:25). Pengurangan sedikit oksigen yang dibawa darah mempunyai efek yang kecil saat istirahat atau aktivitas sedang, tapi mempunyai efek yang besar pada peforma daya tahan (Katch, 2011:514).
Keadaan hipoksia pada tubuh dapat menyebabkan eritropoiesis. Eritropoiesis adalah proses pembentukan hormon eritropoietin. Dataran tinggi mempunyai tekanan oksigen yang rendah, hal ini menyebabkan kondisi hipoksia pada jaringan tubuh, dan respon fisiologis untuk hipoksia adalah eritropoiesis (Brookhart, 2008:1390). Eritropoiesis merupakan proses pembentukan eritropoietin pada ginjal. Eritropoietin adalah hormon yang dapat menstimulasi pembentukan proeritroblast (bakal yang akan menjadi hemoglobin atau sel darah merah). Eritropoietin akan disekresi dari waktu menit sampai jam, dan waktu maksimal sampai 24 jam.
d.   Umur dan Jenis Kelamin
Umur dan jenis kelamin adalah faktor yang cukup menentukan kadar hemoglobin darah. Kadar hemoglobin pada pada orang dewasa lebih tinggi dibanding anak-anak. Nilai median hemoglobin naik selama 10 tahun pada masa anak-anak, selanjutnya akan meningkat pada masa pubertas (Gibson, 2005:446).
Kadar hemoglobin pada perempuan lebih rendah dari pada kadar hemoglobin laki-laki. Rendahnya kadar hemoglobin pada perempuan dikarenakan mengalami kehilangan besi lebih banyak dibanding laki-laki akibat menstruasi setiap bulannya. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dari konsentrasi hemoglobinnya, namun hilangnya besi saat menstruasi rutin dari perempuan yang membuat konsentrasi hemoglobin berkurang (Rushton, 2001:1356).
e.    Merokok
Kebiasaan merokok sekarang telah menjalar pada kalangan anak muda. Merokok merupakan kebiasaan buruk karena dapat merusak tubuh. Kandungan yang ada dalam rokok dapat berbahaya bagi tubuh bila masuk ke dalam. Rokok dapat menghasilkan karbon monoksida. Jika masuk ke dalam tubuh maka akan sangat berbahaya. Karbon monoksida akan berikatan dengan hemoglobin, karena hemoglobin mempunyai afinitas (daya ikat) pada karbon monoksida sangat tinggi dan mengalahi oksigen. Hal ini menyebabkan hemoglobin tidak dapat mengikat oksigen dan mengantarnya ke organ dan jaringan yang membutuhkan. Akibatnya, jaringan tubuh tidak dapat tercukupi kebutuhan energinya dan tidak dapat melakukan aktivitas dengan baik. Namun, dalam keadaan tersebut tubuh akan mengompensasi dengan mempertinggi konsentrasi hemoglobin untuk memenuhi kebutuhan (Goel, 2010:2).
4.    Hemoglobin dalam Olahraga
Hemoglobin merupakan komponen sel darah merah yang mampu mengikat oksigen. Hal tersebut mendasari bahwa hemoglobin mempunyai peran yang cukup penting dalam olahraga, terutama olahraga yang berdurasi lama. Olahraga yang berdurasi lama membutuhkan energi yang cukup dan tahan dalam waktu lama untuk menggerakkan otot. Energi yang digunakan untuk menggerakkan otot tersebut diproduksi melalui pembakaran bahan makanan dengan oksigen yang sebelumnya dibawa oleh hemoglobin. Oleh karena itu, hemoglobin berperan penting dalam pembentukan energi, khususnya sistem energi aerobik.
Kadar hemoglobin dalam darah olahragawan harus normal. Jika kadar hemoglobin di bawah batas normal, maka seorang olahragawan tidak dapat memenuhi kebutuhan energi yang diperlukan. Sebab oksigen yang ada untuk dibentuk energi tidak mencukupi. Namun, kadar hemoglobin yang melebihi batas atas normal, akan lebih berbahaya bagi olahragawan. Kondisi tersebut dikarenakan saat latihan akan terjadi kejenuhan hemoglobin di dalam darah (Powers, 1984:212), di sisi lain tekanan parsial darah dan denyut jantung juga meningkat (Mairbaurl, 2013:2). Hal ini dapat berbahaya bagi tubuh karena sewaktu-waktu dapat terjadi gagal jantung mendadak. Apalagi dengan kondisi kadar hemoglobin tinggi yang memungkinkan dapat terjadi kejenuhan lebih cepat dan lebih jenuh dari kadar hemoglobin yang rendah. Keadaan ini harus dapat diantisipasi oleh olahragawan. Oleh karena itu, kadar hemoglobin harus tetap normal di dalam darah.

Inflamasi (radang)




2.1 Peta Konsep




2.2 Pengertian Inflamasi
Radang (bahasa Inggris: inflammation) adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi (wikipedia: 2013). Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan hidup terhadap jejas dengan cara memobilisasi semua bentuk pertahanan tubuh berupa reaksi vaskuler, neurologik, humoral, dan selular.
Macam-macam inflamasi dibagi menjadi dua, yaitu akut dan kronis. Inflamasi akut adalah reaksi tubuh terhadap jejas dengan mengaktifkan sistem pertahanan tubuh dalam waktu yang relatif singkat. Sedangkan inflamasi kronis merupakan radang yang berlangsung lama.
Tanda-tanda radang ada 5, yaitu:
a.       Rubor
Rubor adalah kemerahan, merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami inflamasi. Saat reaksi inflamasi timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah yang mengalami inflamasi. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke sirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah.
b.      Kalor
Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat, sebab darah yang memiliki suhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami inflamasi lebih banyakdari pada ke daerah normal.
c.       Tumor
Pembengkakan atau tumor sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial.Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah inflamasi disebut eksudat meradang.
d.      Dolor
Dolor atau rasa nyeri merupakan akibat dari perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu yang dapat merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang.
e.       Fungsiolaesa
Berdasarkan asal katanya, fungsiolaesa adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002). Fungsiolaesa merupakan reaksi inflamasi yang telah dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang.
Inflamasi merupakan pertanda baik bagi tubuh, karena sebagai peringatan awal akan terjadinya cedera sebelum semakin parah. Respon inflamasi yang terjadi karena cedera tersebut akan melokalisir cedera. Hal ini dilakukan agar cedera tidak semakin meluas. Kemudian tubuh akan mengatasi cedera tersebut di daerah yang dilokalisir tersebut. Sel-sel yang mati atau bahkan bakteri yang mungkin terdapat dalam cedera akan diatasi pada fase ini, sehingga patogen yang ada akan dihilangkan. Setelah itu, tubuh akan memperbaiki sel-sel yang rusak atau meregenerasi jaringan.

2.3 Mekanisme Inflamasi
Olahraga merupakan pengelolaan tubuh secara sistematis dalam bentuk fisik untuk memperoleh tujuan tertentu. Bukan hanya untuk meningkatkan prestasi, tetapi juga untuk meningkatkan derajat kebugaran jasmani individu agar dapat tetap melakukan aktivitas sehari-hari dengan tanpa merasakan kelelahan yang berarti.
Terlepas dari pada itu, olahraga sendiri tidak bisa lepas dari resiko terjadinya cedera. Cedera yang terjadi akan menimbulkan dampak-dampak yang berpengaruh dari aktivitas tubuh itu sendiri. Respon tubuh tersebut berupa terjadinya inflamasi akibat cedera yang ada. Cedera akan direspon oleh tubuh melalui sel reseptor, dan mengirimnya ke otak tepatnya hipotalamus dalam bentuk impuls. Hipotalamus akan merespon dengan HPA axis, karena terjadi stres fisik pada tubuh. Hasilnya adalah Ach (asetilkolin). Asetilkolin yang meningkat di dalam tubuh yang disekresi dari organ-organ dalam tubuh seperti hati, limpa, dan jantung akan menyebabkan produksi sitokin meningkat, seperti IL6 dan TNFα. Hal tersebut dapat mengaktifkan pula sel mast dan sel makrofag yang akan mengeluarkan histamin dan heparin. Ini akan menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah.
Seiring mengembangnya pembuluh darah akan terjadi pula perubahan permeabilitasnya, sehingga komponen tertentu di dalam darah seperti plasma darah dan sel dapat keluar dari pembuluh menuju daerah cedera tersebut. Hal ini merupakan proses yang baik bagi tubuh, karena leukosit akan mudah keluar dan menuju pusat cedera dan menyembuhkan serta meregenerasi sel yang rusak.

2.4 Inflamasi pada Olahraga
Kegiatan olahraga sekarang terus dipacu untuk dikembangkan dan ditingkatkan bukan hanya olahraga prestasi atau kompetisi, tetapi olahraga juga untuk kebugaran jasmani secara umum. Kebugaran jasmani tidak hanya punya keuntungan secara pribadi, tetapi juga memberikan keuntungan bagi masyarakat dan negara. Oleh karena itu kegiatan olahraga sekarang ini semakin mendapat perhatian yang luas.
Bersamaan dengan meningkatnya aktivitas keolahragaan tersebut, korban cedera olahraga juga ikut bertambah. Sangat disayangkan jika hanya karena cedera olahraga tersebut para pelaku olahraga sulit meningkatkan atau mempertahankan prestasi. Cedera yang dialami berkaitan erat dengan inflamasi yang terjadi pada tubuh. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa inflamasi tersebut ada sebagai respon akibat adanya organ tubuh yang mengalami kelainan fungsi karena faktor tertentu. Ini sebenarnya hal baik yang dilakukan tubuh, karena dapat dijadikan sebagai peringatan agar tidak terjadi hal buruk atau cedera yang semakin berat.
Banyak faktor yang menghasilkan mekanisme cedera atau trauma pada olahraga yang dapat menimbulkan inflamasi atau peradangan. Cedera pada jaringan lunak seperti cedera ligamen, kapsul sendi, atau otot dapat terjadi baik oleh trauma langsung maupun tidak langsung.  Cedera jaringan lunak tersebut dihasilkan dari trauma tumpul atau beban yang berlebihan, keadaan ini dikenal dengan nama makrotrauma misalnya robekan otot atau sprain ligamen. Disisi lain trauma tidak langsung dihasilkan dari beban submaksimal yang disertai dengan tanda dan gejala dan tidak muncul secara tiba tiba.
Cedera sendiri terdiri dari 3 fase yaitu:
a.       Akut
Pada akut adalah fase trauma langsung dari beban berlebihan secara tiba tiba atau makrotrauma (misal gerakan meledak pelari 100 meter dari balok start).
b.      Sub akut/overuse
Fase subakut terjadi pada saat peningkatan beban degenerasi (proses penurunan anatomi dan fisiologi jaringan) pada jaringan tubuh yang terjadi secara kumulatif (contoh tendinitis achiles pada pelari jarak jauh).  Tipe terakhir adalah fase akut/kronik, adalah gabungan antara beban yang kumulatif dan beban berlebih secara tiba-tiba (putusnya kronik tendinitis achiles pada pelompat jauh).
c.       Kronis
Pada kronis sendiri adalah kondisi tanpa adanya inflamasi. Dan kondisi kronis ini akan menjadi akut yang disertai inflamasi bila mendapatkan beban berlebihan secara tiba tiba.
Cedera olahraga jika tidak ditangani dengan cepat dan benar dapat mengakibatkan gangguan atau keterbatasan fisik, baik dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari maupun melakukan aktivitas olahraga yang bersangkutan. Bahkan bagi atlit cedera ini bisa berarti istirahat yang cukup lama dan mungkin harus meninggalkan sama sekali hobi dan profesinya. Oleh sebab itu dalam penaganan cedera olahraga harus dilakukan secara tim yang multidisipliner.
Cedera olahraga dapat digolongkan 2 kelompok besar :
a.       Kelompok kerusakan traumatik (traumatic disruption).
Contoh cedera seperti : lecet, lepuh, memar, leban otot, luka, “stram” otot, “sprain” sendi, dislokasi sendi, patah tulang, trauma kepala, leher, tulang belakang, trauma tulang pinggul, trauma pada dada, trauma pada perut, cedera anggota gerak atas dan bawah.
b.      Kelompok sindroma penggunaan berlebihan (over use syndromes).
Lebih spesifik yang berhubungan dengan jenis olahraganya, seperti : tenis elbow, golfer’s elbow swimer’s shoulder, jumper’s knee, stress fracture pada tungkai dan kaki.
Inflamasi pada olahraga sebenarnya banyak terjadi. Hal ini tidak lepas dari faktor-faktor yang ada. Diperlukan perhatian ekstra agar tidak terjadi cedera yang menyebabkan peradangan atau inflamasi. Terlepas dari itu inflamasi merupakan hal yang bagus bagi tubuh, karena dapat dijadikan sebagai sebuah peringatan. Adanya peringatan tersebut agar tubuh dapat istirahat dan tidak terjadi cedera yang lebih parah, untuk mengembalikan kondisi seperti semula. Seluruhnya tubuh melakukannya sesuai dengan fungsi kerja dari masing-masing sistem organ tubuh. Ini akan menjadikan tubuh untuk merespon dan selalu beradaptasi dari hal-hal yang terjadi, sehingga tubuh tidak mengalami gangguan dalam waktu yang lama.